Pemilu 2024, Pesta Demokrasi yang Diguyur Laporan Polisi

Ilustrasi kriminalisasi demokrasi. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Ilustrasi kriminalisasi demokrasi. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Pemilu yang seharusnya jadi pesta demokrasi, malah mempertontonkan ajang kriminalisasi. Adanya laporan pidana terhadap kelompok kritis jadi cermin pembungkaman demokrasi.

Berdasarkan catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan per Januari 2024, pelaporan terkait pemilu yang masuk ranah pidana banyak ditujukan ke kubu calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Bacaan Lainnya

Dalam catatan mereka, pelapor dari laporan-laporan itu berkaitan dengan kubu nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bahkan, penyelenggara pemilu juga turut menjadi target laporan.

Laporan yang dimaksud yaitu, laporan terhadap Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aiman Wicaksono terkait kritiknya soal ketidaknetralan anggota Polri. Kini, kasusnya sudah naik ke tahap penyidikan.

Kemudian laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Batam dan Kepulauan Riau ke polisi. Pelaporan dibuat oleh Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran terkait pencopotan baliho raksasa yang dipasang di salah satu ikon Kota Batam.

Ada juga pelaporan terhadap Roy Suryo dengan tuduhan ujaran kebencian terhadap Gibran. Pelaporan itu dibuat atas pernyataan Roy terkait tiga jenis mic yang diduga digunakan oleh anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.

Selanjutnya, Komika Aulia Rakhman. Ia jadi tersangka atas materi lawakan di acara Desak Anies di Lampung. Ia dituding atas penistaan agama.

Anies Baswedan juga dilaporkan terkait luas lahan milik Prabowo, yang ia sebut di Debat Ketiga Pilpres 2024. Anies diadukan ke Bawaslu RI dengan tuduhan melanggar Pasal 280 ayat (1) huruf c juncto Pasal 521 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Pasal 72 ayat (1) huruf c Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilu. Ancaman hukumannya, pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda Rp24 juta.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Julius Ibrani mengatakan, pihaknya menyesalkan adanya penggunaan pasal-pasal ‘karet’ dalam laporan-laporan tersebut.

“Koalisi menyesalkan dipakainya pasal-pasal ‘karet’ yang sangat anti-demokrasi, seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, penodaan agama dan lainnya, yang selama ini dikenal untuk membungkam suara warga, jurnalis, aktivis maupun oposisi yang kritis terhadap pemerintah,” ujar Julius dalam keterangannya, Selasa 9/1/2024.

Julius berpendapat, ujaran maupun tindakan yang dilaporkan, khususnya kepada Kepolisian, harusnya dipandang sebagai kegiatan yang sah dalam konteks sosialisasi dan kampanye. Sebagaimana dijamin oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UUD Negara RI Tahun 1945.

Julius mengatakan, segala bentuk dugaan pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemilu berada di ranah otoritas pengawas pemilu, yakni Bawaslu RI. Apabila tuduhan atau dugaan pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Bawaslu, maka dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

“Hanya dugaan tindak pidana murni di luar konteks kegiatan sosialisasi dan kampanye pemilu yang dapat dilaporkan kepada pihak Kepolisian secara langsung,” ungkap Julius.

Pihaknya berpendapat, laporan pidana terhadap kegiatan sosialisasi dan kampanye pemilu jelas bermasalah, baik secara formil maupun materiil. Untuk itu, Koalisi mendesak Presiden dan Kapolri untuk menghentikan seluruh proses hukum yang bernuansa politik atas oposisi, maupun terhadap kegiatan sosialisasi dan kampanye Pemilu.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat, Santoso mengaku sependapat. Pesta demokrasi tak seharusnya jadi ajang kriminalisasi. Tetapi, ia tidak setuju kalau laporan-laporan itu disebut sebagai upaya membungkam demokrasi.

“Enggak, menurut saya bukan. Makanya kalau tidak ingin dilaporkan, jangan menyinggung orang, jangan memfitnah, atau memberikan data yang tidak benar. Dan saya kira, karena setelah dari Bawaslu itu ke Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu), ada alur hukum yang harus dilalui, apakah akan diproses atau tidak,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Rabu 10/1.

Santoso yakin, para penegak hukum, termasuk penyidik di dalamnya juga akan melihat apakah kasus tersebut dilanjutkan atau tidak, atau sekedar hanya pelanggaran pemilu biasa.

Ia berharap, para peserta pemilu tak menyinggung atau menyerang pribadi seseorang dan berbau SARA.  Sehingga, tidak menimbulkan kecaman di masyarakat yang akhirnya berujung laporan di Bawaslu hingga penegak hukum.

Ia juga ingin agar para penegak hukum tidak memproses kasus hukum atas tindak pidana yang dilakukan oleh kontestan pemilu, baik calon legislatif (caleg), capres, dan cawapres.

“Jadi jangan dulu lah. Kalau nanti setelah pemilu selesai, baru lah diproses gitu. Ini sudah bagus berjalannya. Jangan merusak momen demokrasi,” ungkapnya.

Santoso membeberkan, terkait tren pelanggaran pidana sebenarnya sudah ada edaran di semua institusi hukum agar tidak memprosesnya selama pemilu berlangsung. Hal ini dilakukan dalam rangka menghindari kriminalisasi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo memandang, aksi saling lapor memang lazim dalam pemilu. Tetapi, tindakan rezim dalam merespons suara kebebasan dan keadilan memang mesti disorot.

“Saling melapor antara tim satu dengan tim lain, itu sekedar gimik dalam rangka membentuk opini publik. Namun, yang perlu disoroti adalah tindakan dari rezim terhadap sipil sosial yang menyuarakan kebebasan, demokrasi, keadilan,” katanya kepada Forum Keadilan, Selasa 9/1.

Karyono menegaskan, perlakuan rezim untuk membungkam suara kebebasan demokrasi adalah ancaman serius. Untuk itu dirinya menganggap, pelaporan yang sebagaimana disebutkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil merupakan noda bagi demokrasi.

“Tindakan terhadap pihak yang kritis seperti Aiman dan yang lain itu bisa menodai demokrasi, bisa mengancam nilai-nilai demokrasi. Meski dibungkus dengan kasus dalam proses hukum, tapi ada motif pembungkaman terhadap kelompok kritis seperti NGO (Non-Governmental Organization), pers, dan kelompok masyarakat,” lanjutnya.

Kebebasan berpendapat sejatinya dijamin oleh konstitusi. Jadi kata Karyono, pemimpin harus sadar dan siap menerima masukan.

 

Mana Kritik, Mana Intrik Politik

Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli mengamini pandangan Karyono. Ia menjelaskan bahwa pelanggaran pemilu dan kritik itu berbeda.

Jika terkait pelanggaran terhadap UU Pemilu, maka Bawaslu menjadi lembaga yang akan menangani itu. Apabila terbukti bersalah, akan diproses di pengadilan. Tetapi jika terkait dengan kritik, baik terhadap pemerintah atau penyelenggara pemilu, harusnya tidak diproses.

Berdasarkan data Humas Polri per Rabu 10/1/2024, sudah ada 17 kasus tindak pidana pemilu di Pemilu 2024. Rinciannya, 5 kasus terkait money politic (politik uang), 1 kasus kampanye di tempat ibadah atau pendidikan, 7 kasus terkait pemalsuan, 1 kasus pihak yang dilarang sebagai pelaksana kampanye, 2 kasus kampanye melibatkan pihak yang dilarang, dan 1 kasus perusakan alat peraga kampanye (APK).

Kasus Aiman dan beberapa kasus yang disebutkan Julius Ibrani tentu tidak termasuk di dalam pelanggaran pemilu. Menurut Lili, persoalan kritik harusnya tak perlu dibawa ke ranah hukum.

“Sebagai negara demokrasi, mestinya itu tidak terjadi. Masyarakat yang kritis harus dilindungi, bukan dilaporkan. Ia terpilih menjadi pemimpin karena demokrasi. Oleh karena itu, ia harus menjaga dan melindungi demokrasi. Bukan membunuh atau menghancurkannya,” kata Lili kepada Forum Keadilan, Rabu 10/1.

Lili melihat, kemunduran demokrasi terjadi di era pemerintahan saat ini. Menurutnya, beberapa prinsip demokrasi sudah terbelenggu.

“Beberapa prinsip demokrasi sudah dibelenggu. Masyarakat takut berpendapat, dan tiadanya oposisi. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dilemahkan dan Mahkamah Konstitusi (MK) diintervensi. Sangat disayangkan kejadian seperti itu, di mana ketika ada yang berbeda kerap dilaporkan. Tentu ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap mereka yang kritis dan berbeda,” tegasnya.

Peneliti Senior BRIN lainnya, Prof Firman Noor juga sama. Ia berpendapat bahwa melaporkan tindakan kritis dari masyarakat akan menimbulkan ketakutan bagi generasi selanjutnya untuk bersuara.

Kata Firman, demokrasi memang butuh aturan main serta koridor hukum. Namun, harus diimbangi dengan sebuah kesadaran demokrasi.

Meskipun dilematis, negara harusnya memberikan contoh sikap yang dewasa dalam merespons ujaran kritis masyarakat. Kalau hanya mengedepankan aturan, kebebasan masyarakat untuk berekspresi bisa terbelenggu.

Sedangkan Tim Nasional Anies-Muhaimin (Timnas AMIN) sebagai kubu terlapor mengaku tidak keberatan dengan adanya laporan-laporan. Asal laporannya memiliki dasar yang kuat serta rasional.

“Kalaupun memang ada laporan yang sekiranya rasional, silakan. Tidak apa-apa, tindak lanjuti. Mau Mabes, mau Polda boleh, tapi rasional. Ada fakta, ada bukti, ada saksi secara hukum begitu. Dua alat bukti, kata 184 KUHAP itu boleh dilanjutkan,” kata anggota Tim Hukum Nasional AMIN, Azam Khan saat ditemui di kantornya, Rabu 10/1.

Ia sendiri menganggap, laporan yang dilayangkan relawan Prabowo membuat situasi pemilu tidak kondusif. Sebab menurutnya, laporan tersebut merupakan bentuk serangan.

“Enggak pantas itu dilaporkan, karena kalau kelihatan dilaporkan itu konteksnya sudah ada penyerangan, namanya attack. Kalau sudah penyerangan, itu sudah tidak kondusif,” ungkapnya.

Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Chico Hakim juga tampak sepemikiran. Menurutnya, laporan pidana menyangkut pilpres yang banyak dilakukan sekarang ini, merupakan laporan yang bentuknya bukan dari insiatif masyarakat.

Ia memandang, laporan tersebut dilayangkan oleh berbagai pihak yang ingin membungkam suara-suara miring terhadap kekuasaan, suara-suara yang menyuarakan kecurangan dan ketidaknetralan aparat.

“Kami berharap, aparat dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo khususnya, dalam kasus ini bisa paham bahwa masyarakat tahu betul ini bukan lah sesuatu yang sifatnya organik. Dan harapan kami tentu sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita kita bersama, menghadapi pemilu yang bebas, jujur dan adil ini,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Rabu 10/1.

Tetapi, Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran tentu punya pandangan berbeda. Menurut mereka, aksi saling lapor di pemilu merupakan sebuah dinamika yang tidak bisa dihindari.

“Saya rasa itu dinamika yang tidak bisa kita elakkan. Selama itu proporsional dan memang sudah dilindungi dalam undang-undang, saya rasa hal itu wajar-wajar saja,” kata Wakil Komandan Tim Fanta TKN Prabowo-Gibran, Anggawira saat ditemui di markas TKN Fanta, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 10/1.

Namun kata dia, narasi kritik yang menyerang personal seharusnya tidak pernah dilakukan.

Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo juga mengatakan demikian. Bahkan pihaknya mengaku, sampai saat ini tidak pernah memasukkan laporan ataupun kritikan terhadap kubu lain.

“Kalau sampai saat ini TKN belum ada melaporkan. Kalau dari TKN, jika sifatnya tidak terlalu penting, saya rasa tidak usah,” katanya.

Kata Dradjad, siapapun pemimpin yang terpilih nantinya, harus memiliki tanggung jawab pada negara ataupun masyarakat, untuk bisa memastikan kritik yang disampaikan berlandaskan fakta dan data.

“Siapa saja yang berbicara di publik, tolong pastikan dokumen, data dan fakta yang kita sampaikan akurat. Karena kalau tidak akan menimbulkan kegaduhan, dan kasihan korbannya,” tutupnya.* (Tim FORUM KEADILAN)