Maksimalkan Potensi Blue Carbon Indonesia Lewat Hutan Mangrove

CEO CarbonEthics, Bimo Soewadji di Podcast Forum Karbon, Minggu 17/3/2024. | Novia Suhari/Forum Keadilan
CEO CarbonEthics, Bimo Soewadji di Podcast Forum Karbon, Minggu 17/3/2024. | Novia Suhari/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki potensi Blue Carbon terbesar di dunia. Potensi tersebut berkisar di angka 17 persen, yang mana 7 persennya terdiri dari hutan mangrove.

Sayangnya, menurut CEO CarbonEthics, Bimo Soewadji, proyek Blue Carbon berbasis hutan mangrove di Indonesia belum maksimal.

Bacaan Lainnya

Seperti yang diketahui ada beberapa proyek Hutan Kemasyarakatan yang mekanismenya sukarela, namun pemanfaatannya masih kurang jika dibandingkan potensi Indonesia.

“Saya pikir, kita agak kurang dari negara lain. Meskipun kita memiliki biaya yang cukup untuk mangrove dan juga jalur pantai terpanjang di dunia, kesalahannya, kita tidak punya pembangkit tenaga listrik yang besar,” katanya dalam Podcast Forum Karbon, Rabu 10/3/2024.

Selain untuk memelihara keseimbangan lingkungan kawasan pantai, kata Bimo, pembangunan hutan mangrove juga memiliki nilai potensi ekonomi yang bagus di bidang budidaya rumput laut.

Nilai sosial dari pengembangan proyek Blue Carbon berbasis hutan mangrove tersebut pun tak kalah pentingnya. Sebab, masyarakat Indonesia menjadi yang paling rentan terhadap perubahan iklim terutama mereka yang tinggal di daerah pesisir pantai.

“Adanya mangrove sebagai pertahanan pantai juga meningkatkan ketahanan pantai,” ujarnya.

Akan tetapi, tidaklah mudah membujuk masyarakat pesisir pantai untuk menyadari pentingnya ketahanan pantai.

Bimo mengatakan, untuk memberikan contoh pada masyarakat untuk melestarikan pesisir pantai melalui proyek hutan mangrove tersebut, ia selama ini bekerja sama dengan komunitas dan ahli.

“Karena sebenarnya, pada akhirnya mereka akan menjadi orang pertama yang terkena dampak perubahan iklim. Jadi, kita selalu berusaha mendidik masyarakat terlebih dahulu, apa pentingnya hidup berdampingan dengan ekosistem mangrove,” jelasnya.

Bimo menuturkan, kesulitan dalam membangun proyek pesisir pantai ada di prosesnya. Jadi, setelah pembangunan harus juga dipastikan kelanggengan dari proyek tersebut.

“Terkadang apa yang kita lihat sudah oke, soal keberlanjutan proyek, keberlanjutan jangka panjangnya. Tapi, kita tidak bisa hanya merencanakan lalu lari begitu saja. Perlu juga memastikan tiga tahun pengawasan. Bukan hanya sekedar pemantauan, tapi bagaimana masyarakat bisa mandiri tanpa kita. Makanya harus ada nilai ekonominya,” ungkapnya.

Bimo berharap, pemerintah bisa bekerja sama untuk lebih memperhatikan pembangunan Blue Carbon hutan mangrove dalam skala besar dan mempercepat prosesnya demi pelestarian pesisir pantai di Indonesia.

“Tentunya dimulai dari jelasnya izin, jelas metodologinya dan semua langkah yang harus kita lakukan untuk mengembangkan solusi berbasis alam,” tukasnya.*

Laporan Novia Suhari