Silang Sengkarut Konflik Agraria, Cawapres Mana yang Paham Persoalannya?

Ketiga cawapres 2024, Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Ketiga cawapres 2024, Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Konflik agraria makin melonjak. Debat Pilpres 2024 mempertontonkan calon wakil presiden (cawapres) mana yang betul-betul paham akan penyelesaian konflik pelik tersebut.

Dalam acara Debat Keempat Pilpres 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), ketiga cawapres diminta memaparkan gagasan mereka guna menarik tujuan reforma agraria agar kembali ke amanat konstitusi.

Bacaan Lainnya

Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka mengatakan, dirinya akan melanjutkan dan menguatkan reforma agraria yang ada saat ini.

Menurutnya, program-program reforma agraria, seperti Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) hingga kebijakan satu peta atau one map policy sangat penting untuk dilanjutkan.

“Sekarang sudah ada program PTSL. Sudah berhasil membagikan sekitar 110 juta sertifikat. Dulu, sebelum ada program ini hanya bisa menghasilkan dan membagikan 500.000 sertifikat. Bayangkan itu, butuh berapa tahun untuk menyelesaikan masalah,” kata Gibran di Debat Keempat Pilpres 2024 di Senayan, Jakarta Pusat, Minggu 21/1/2024.

Wali Kota Solo ini juga memamerkan bahwa daerah yang dipimpinnya telah mendapat predikat kota lengkap dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Garis-garis batas tanah-tanah wilayahnya sudah ter-capture semua, sehingga nanti, sekali lagi akan mengurangi konflik-konflik tanah, mafia tanah, karena semuanya sudah ter-capture secara digital di database-nya BPN,” imbuhnya.

Namun, cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan cawapres nomor urut 3, Mahfud MD punya pandangan berbeda. Menurut mereka, banyak ketimpangan penguasaan tanah terjadi di Indonesia.

Mahfud menyebut, di instansinya, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), ada 10 ribu kasus aduan mengenai masyarakat adat. Sebanyak 2.587 di antaranya merupakan kasus tanah adat.

Ia juga menceritakan pengalamannya dalam menangani kesemrawutan persoalan agraria. Kata dia, data terkait konflik terkait agraria selalu disembunyikan.

Selain itu, penegakan aturannya tidak mudah, sekalipun aturannya ada. Kata Mahfud, aparat penegak hukum tak mau melaksanakan aturan. Selalu ada saja akal mereka.

Mahfud pun setuju dengan pernyataan Cak Imin. Menurut keduanya, perlu dibuat lembaga khusus untuk reforma agraria.

 

Bukan Main Persoalan Agraria

Ketika dimintai pandangannya soal konflik agraria, anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menganggap bahwa itu bukanlah persoalan sederhana. Konflik agraria merupakan bentuk praktik mencaplok hak rakyat untuk diberikan kepada pengusaha.

“Terjadi konflik agraria tersebut karena ada mafia tanah. Kedua, memang ada kasus agraria yang sifatnya konflik antara pihak pemerintah dan masyarakat. Lalu, ada juga seperti konflik antara perusahaan investor dengan masyarakat,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Minggu 21/1.

Guspardi menjelaskan, salah satu modus konflik agraria yang terlihat di permukaan ialah menyerang masyarakat yang tak punya sertifikat sah atas tanah. Padahal, masyarakat sudah menguasai tanah itu secara turun-temurun.

Untuk itu, Guspardi meminta pemerintah proaktif untuk melegalisasi kepemilikan tanah rakyat, sekalipun mereka tidak memiliki sertifikat.

Tak seperti Gibran, Guspardi justru menganggap program PTSL yang diluncurkan oleh ayah Gibran, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum maksimal. Tidak maksimalnya program ini juga yang menurutnya jadi penyebab masih maraknya konflik agraria.

Guspardi menjelaskan, program PTSL yang dikatakan gratis itu, masih dibayangi oleh pungutan liar (pungli) dalam pelaksanaannya. Sehingga, masyarakat enggan mengurus kepemilikan tanah.

“Ini sebenarnya program pemerintah yang sifatnya gratis. Harusnya tidak membedakan siapa yang memiliki tanah itu. Apalagi yang mempunyai tanah itu rakyat kecil. Jadi, jangan ada upaya untuk dilakukan pungli, karena sebetulnya gratis,” jelasnya.

Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Roni Septian juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, konflik agraria merupakan bentuk perampasan tanah masyarakat yang dilakukan oleh badan usaha negara dan swasta, yang difasilitasi oleh kebijakan dan diatur oleh pemodal.

Merujuk catatan KPA, maraknya konflik agraria disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari pembangunan dan investasi yang pro ke pasar dan modal, monopoli ketimpangan penguasaan tanah yang akut, konflik tanah yang tidak pernah diselesaikan dengan tuntas, serta penggunaan kekerasan dan kriminalisasi.

Bukan soal maksimal atau tidak maksimalnya program, kata Roni, Jokowi yang gagal dalam reforma agraria.

Berdasarkan Laporan Tahunan KPA, sedikitnya terdapat 241 konflik agraria sepanjang tahun 2023. Angka ini naik 12 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 212.

Sedangkan, selama era pemerintahan Jokowi, tercatat ada 2.939 konflik agraria terjadi. Angka ini melonjak drastis dari satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yhudoyono (SBY) yang hanya mengalami 1.520 kasus.

Roni juga menyebut bahwa proyek-proyek strategis nasional (PSN) menjadi wilayah baru penyumbang konflik agraria. Sepanjang tahun 2021 hingga 2023, pihaknya mencatat ada 115 kejadian konflik agraria terkait PSN di berbagai wilayah.

KPA mendata, selama sembilan tahun Jokowi memimpin, ada total 3.503 korban kekerasan dan kriminalisasi di berbagai wilayah konflik agraria. Dari jumlah itu, sebanyak 2.442 menjadi korban kriminalisasi, 905 mengalami kekerasan dan penganiayaan, 84 orang tertembak, dan 72 orang tewas karena represifitas aparat negara.

Jumlah ini berbanding terbalik dengan jumlah di tahun 2005 sampai 2014, di mana hanya tercatat sebanyak 1.354 korban kriminalisasi, 553 mengalami tindakan penganiayaan, 110 orang tertembak, dan 70 orang tewas.

Menurut Roni, peningkatan konflik agraria di pemerintahan Jokowi ini terjadi karena pendekatan kebijakan ekonomi yang digunakannya lebih condong ke pemodal.

“Peningkatan konflik agraria selama dua periode Pemerintahan Jokowi disebabkan oleh kebijakan ekonomi dan agraria yang dibuat untuk mendukung bisnis lapar tanah, seperti sawit, batu bara, nikel dan kayu,” kata Roni kepada Forum Keadilan, Sabtu 20/1.

Roni berpandangan, kegagalan dalam reforma agraria terjadi karena Jokowi enggan membuat lembaga pelaksana agraria dan Undang-Undang Reforma Agraria.

“Akibatnya, reforma agraria hanya sebatas menjadi sertifikasi tanah dengan kampanye yang berlebihan,” bebernya.

Manajer Kampanye Hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian juga sependapat. Kata dia, pemerintah saat ini melihat tanah dan sumber daya alam (SDA) hanya dari sisi ekonomi belaka. Begitu juga dalam pembangunan PSN.

Pemerintah, menurutnya mengesampingkan sisi sosial, religiusitas, dan budaya yang melekat sebagai identitas masyarakat adat ataupun lokal.

“Jadi tidak penting bagi mereka, tanah diobral habis untuk korporasi. Bagi pemerintah tidak penting sisi religiusitas, sosial ataupun identitas yang ada di atas tanah masyarakat,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Sabtu 20/1.

Seperti halnya Guspardi Gaus, Uli melihat bahwa paham domain veklering masih melekat di Indonesia. Jadi, ketika rakyat tidak bisa membuktikan hak kepemilikan legal terhadap suatu tanah, maka tanah tersebut menjadi milik negara.

Kemudian, ketika rakyat menolak dengan berbagai macam alasan, aparat keamanan dikerahkan untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi masyarakat.

Pernyataan Manajer Walhi ini seolah dibenarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian membeberkan, sejak tiga tahun terakhir pihaknya mengantongi 1.675 aduan HAM terkait konflik agraria dan Sumber Daya Alam (SDA). Pengaduan itu, banyak disebabkan oleh kebijakan yang mengedepankan aspek keamanan serta melibatkan aparat negara dan militer.

“Karena kebanyakan menggunakan pendekatan keamanan. Empat teratas, hak asasi yang paling banyak diduga dilanggar adalah hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup, sebanyak 86,7 persen,” katanya kepada Forum Keadilan, Sabtu 20/1.

Saurlin memaparkan, ada 4 klasifikasi aduan konflik, yaitu sektor lahan atau pertanahan, perkebunan, infrastruktur, dan PSN.

Konflik agraria dari sektor lahan atau pertanahan paling tinggi. Ada 315 aduan di sektor tersebut atau 80,4 persen dari jumlah aduan. Dalam sektor ini, kebanyakan laporan ditujukan kepada korporasi sebagai pihak yang diberikan izin oleh pemerintah.

 

Di Mana Penyelesaiannya?

Pakar Hukum Kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia Dr Sadino menyebut, konflik agraria sudah seharusnya menjadi masalah negara yang harus dikupas tuntas. Tetapi, kalau pemerintah tidak transparan terhadap data penyelesaiannya, jangan harap konflik agraria akan selesai.

“Pemerintah tugasnya mengkoordinir semua ini, tapi selama ini tidak pernah transparan. Jadi, seakan menambah beban konflik agraria ini,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 22/1.

Sadino tampak sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Cak Imin dan Mahfud dalam penyelesaian konflik agraria. Seharusnya ada lembaga khusus yang mengatur secara jelas reforma agraria. Lembaga itu dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik dan menjadi wasit antara pemerintah dan masyarakat.

Menurut Sadino, pemerintah selama ini masih menggunakan pendekatan parsial untuk menyelesaikan konflik agraria. Terpisah-pisah di setiap kementerian.

“Cara menyelesaikan ini masih parsial, istilahnya masing-masing kementerian. Harusnya ada satu lembaga khusus yang mampu menyelesaikan itu. Lembaga itu yang harusnya menjadi wasitnya,” ujarnya.

Lembaga yang dimaksud, nantinya juga harus bertanggung jawab langsung kepada presiden dan diamanati undang-undang. Sebab kata Sadino, selama masih bertanggung jawab kepada kementerian, maka lembaga tersebut tidak akan ada taringnya.

“Kalau masih diserahkan ke kementerian enggak akan pernah selesai. Makanya itu tadi, data disembunyikan,” tegasnya.

Melihat Debat Keempat Pilrpes 2024, menurut Sadino, Cak Imin lebih rasional dalam penyampaian visi-misi di bidang agraria.

“Dari visi-misi, sebenarnya yang paling realistis adalah nomor 1. Kalau yang nomor 2 hanya melanjutkan, dan nomor 3 entah dia mau mengubah atau melanjutkan, saya tidak tahu,” ungkapnya.

Sementara, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Dr Trubus Rahardiansyah punya pemikiran berbeda. Menurutnya, konflik agraria hanya bisa diatasi jika para elite pemerintah ingin menyelesaikannya.

Trubus berpandangan, data yang diungkapkan oleh KPA bak fenomena gunung es. Permainan dalam konflik agraria jauh lebih kompleks dari itu, karena berhadapan dengan para elite.

“Ya, pihak KPA juga pada akhirnya jadi penonton. Pihak KPA sendiri posisinya sulit ketika berhadapan dengan para elite,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 22/1.

Untuk itu Trubus menganggap, kunci mengatasi konflik agraria sebenarnya adalah kemampuan dari para elit pemerintah, baik di pusat ataupun daerah.

“Jadi, karena tidak ada elitenya yang memang punya kemampuan untuk menyelesaikan, menurut saya memang sangat krusial. Dalam hal ini, perlu keberanian untuk mengeksekusi dari elitenya sendiri,” jelasnya.

Ia memandang, konflik tanah yang banyak terjadi di Indonesia disebabkan oleh dua alasan. Pertama, kebijakan yang memang lahir dari kepentingan para elite yang memanfaatkan investor. Kedua, dari ketidakberdayaan masyarakat itu sendiri.

“Saat kebijakan dimainkan oleh para elite, maka masyarakat hanya menjadi korban,” tuturnya.

Trubus menegaskan, meski banyak lembaga hingga pendidikan khusus mengenai pertanahan. Nyatanya mereka hanyalah lembaga mandul.

“Karena masalah tidak selesai, malah mereka cari keuntungan di situ kan,” cibirnya.

Trubus mengungkapkan, memang sebenarnya penyelesaian masalah agraria harus memperhatikan nilai lokal. Sebab tanah di Indonesia ada nilai budaya, dan nilai sosialnya. Jadi, tidak hanya nilai ekonomi.

Terkait Debat Pilpres 2024, menurut Trubus, program Gibran lebih masuk akal dibandingkan dengan Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar.

Baginya, bagi-bagi sertifikat lebih diterima kehendak publik, karena pembuatan sertifikat tanah di Indonesia sendiri sangatlah sulit.

Apabila membuat badan khusus reforma agraria, justru menurutnya akan menambah masalah. Pembentukan lembaga dengan berlapis-lapis, kata Trubus, tidak akan menyelesaikan masalah rakyat. Terlebih kepercayaan masyarakat terhadap lembaga, saat ini sudah jatuh.

“Tadinya mau ada lembaga bank tanah. Macam-macam lembaga yang diusulkan untuk penyelesaian konflik tanah. Tetapi itu malah semakin ruwet masalah tanah,” katanya.

Trubus menyarankan, untuk mengurangi konflik agraria, negara harus sadar dan memberikan kepastian hukum atas hak kepemilikan rakyatnya.

“Entah itu tanah ulayat atau tanah apapun, itu milik mereka. Terlebih lagi masyarakat yang sudah tinggal lama. Itu yang namanya negara merdeka,” tutupnya. * (Tim FORUM KEADILAN)