Ormas Wujud Demokrasi, Tindak Kekerasan Harus Dihukum Secara Personal

Peneliti Kebijakan Publik dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro. I Ist
Peneliti Kebijakan Publik dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro | ist

FORUM KEADILAN – Pengamat Kebijakan Publik dari Institute for Democratic Policy and Legal Practices (IDP-LP) Riko Noviantoro mengatakan bahwa keberadaan organisasi kemasyarakatan (ormas) merupakan bentuk nyata dari implementasi hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pernyataan ini disampaikan di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap aktivitas sejumlah ormas di berbagai daerah.

Bacaan Lainnya

Menurutnya, ormas tidak hanya memiliki legitimasi sosial, tetapi juga dasar hukum yang kuat sebagai bagian dari tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, Riko menilai, penting bagi publik dan pemerintah untuk melihat ormas sebagai salah satu pilar demokrasi, bukan sekadar kumpulan masyarakat biasa.

“Pasal 28E ayat 3 menjamin setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Maka, ormas adalah wujud implementasi dari hak tersebut. Keberadaan dan aktivitasnya menjadi bagian dari praktik demokrasi,” kata Riko saat dihubungi Forum Keadilan, Kamis, 15/5/2025.

Lebih lanjut, Riko menjelaskan bahwa ormas telah menjadi simpul dalam demokrasi yang berperan mendorong partisipasi masyarakat dalam kehidupan publik, termasuk dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam konteks ini, ormas memiliki fungsi sosial dan politik yang signifikan.

“Keberadaan ormas bahkan diatur secara eksplisit dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang tentang Yayasan dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jadi, ormas adalah entitas legal dan sah,” ucapnya.

Meski demikian, Riko menekankan bahwa tindakan kekerasan yang terjadi dalam konteks pergerakan ormas tidak boleh serta-merta disamaratakan sebagai kesalahan organisasi.

Ia menegaskan bahwa tindakan kekerasan, terutama yang dilakukan oleh individu, harus diperlakukan sebagai pelanggaran hukum pidana secara personal.

“Jika ada individu yang melakukan kekerasan, maka itu adalah kejahatan personal. Negara melalui aparat penegak hukum wajib mengambil tindakan hukum terhadap pelaku. Tidak adil jika kemudian ormas secara keseluruhan disalahkan atas perbuatan oknum,” ujarnya.

Riko menambahkan bahwa mekanisme penindakan terhadap ormas telah diatur secara jelas dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa ormas yang terbukti melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis hingga pencabutan izin.

“Negara memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif apabila ormas terbukti melanggar ketentuan hukum. Namun tentu saja, sanksi itu harus melalui proses yang sah dan tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang,” tutur Riko.

Riko mengucapkan bahwa pembinaan ormas justru menjadi bagian penting dalam membangun demokrasi yang sehat. Ia berharap negara tidak hanya bersikap represif, tetapi juga membina dan membangun dialog dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil.

“Ormas adalah bagian dari masyarakat sipil yang aktif. Bila difasilitasi dan dibina, ormas bisa menjadi mitra negara dalam meningkatkan partisipasi publik, pemberdayaan masyarakat, hingga pengawasan terhadap kebijakan publik,” kata Riko lagi.

Riko juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi untuk menggeneralisasi tindakan individu sebagai representasi organisasi. Bahkan, ia berharap pendekatan hukum dan kebijakan terhadap ormas dilakukan secara proporsional, adil, dan konstitusional.

“Kita harus bisa membedakan mana tindakan personal dan mana institusi. Jangan karena satu-dua pelaku, lalu ormasnya dicap negatif,” pungkasnya.*

Laporan Ari Kurniansyah

Pos terkait