Marak Keracunan, Sosiolog Sebut MBG Jangan Hanya Jadi Proyek Politik

FORUM KEADILAN – Kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan ini terus bermunculan menjadi perhatian serius berbagai pihak. Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida menekankan pentingnya kesiapan kelembagaan yang kuat dalam pelaksanaan program nasional seperti MBG.
“Program MBG tentu membutuhkan infrastruktur kelembagaan yang kuat, serta standard operating procedure (SOP) yang jelas dan tegas,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Kamis, 15/5/2025.
Ia menyoroti bahwa dalam blue print-nya, program ini sejatinya diharapkan mampu melibatkan serta memberdayakan masyarakat lokal. Namun, dalam implementasinya, MBG justru lebih terlihat sebagai sebuah proyek ketimbang program sosial.
“Kalau ini benar-benar program, orientasinya harus pada proses dan outcome, bukan semata output. Secara sosiologis, seharusnya ini mendorong aksi kolektif di masyarakat untuk perubahan sosial, terutama pola makan sehat yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup,” jelasnya.
Namun, Ida mempertanyakan apakah selama ini MBG telah mampu menciptakan stimulasi dan fasilitasi bagi masyarakat untuk bergerak secara kolektif. Ia mengingatkan agar MBG tidak hanya dipandang dari sisi manfaat ekonomi atau sekadar pemenuhan janji politik pemerintah.
“Kasus keracunan, meskipun mungkin secara persentase kecil, harus menjadi refleksi bersama,” tegasnya.
Ida menambahkan, secara teknis-administratif, potensi keracunan dapat terjadi karena sistem pengadaan makanan yang diserahkan pada jasa katering. Tak jarang, satu penyedia jasa harus melayani ribuan siswa demi mengejar target, meski infrastruktur dan kesiapan kelembagaan masih minim.
“Bisa jadi proses seleksi jasa katering tidak dilakukan dengan ketat. Ada yang belum memenuhi standar, bahkan belum berpengalaman. Bagi pelaku usaha, MBG ini lebih dilihat sebagai proyek, bukan tanggung jawab sosial,” katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan dan monitoring atas proses produksi, distribusi, hingga konsumsi makanan dalam program ini. Menurutnya, penting adanya mekanisme pengaduan yang aman dan adil bagi masyarakat, termasuk pelapor.
“Jika MBG dianggap hanya proyek untuk kejar target politik, maka kebocoran akan mudah terjadi. Dari praktik percaloan proyek hingga potensi korupsi sangat mungkin muncul,” tegasnya.
Sementara itu, usai melakukan Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar mengungkapkan BPOM memiliki beberapa kendala dalam pengawasan pelaksanaan MBG di lapangan.
Hal ini menurut Ikrar, dikarenakan adanya efisiensi anggaran, kemampuan menjangkau wilayah MBG, hingga kekurangan tim pengawasan.
“Selama ini, BPOM hanya sebatas jika ada kejadian luar biasa, kami turun ke lapangan, namun ini masih dianggap belum maksimal,” ucapnya, di Komplek Parlemen, Senayan, Kamis, 15/5.*
Laporan Novia Suhari