FORUM KEADILAN – Tindakan represif tentara dan polisi selama masa Orde Baru masih lekat dalam ingatan para aktivis yang kala itu kerap melakukan demonstrasi serta mengkritik pemerintah Soeharto.
Tindakan represif itu tidak hanya dialami oleh mahasiswa di Jakarta, melainkan juga di daerah lain, seperti Yogyakarta. Tindakan tidak manusiawi itu dialami salah satunya oleh mantan aktivis 1988, Afnan Malay.
Kala itu, Afnan masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia bersama teman-temannya kerap melakukan demonstrasi mengkritik para penguasa. Menurutnya, polisi dan tentara tidak pernah absen untuk mengawasi apa yang dilakukannya.
Pada suatu kesempatan, kata Afnan, pihak tentara melarang untuk melakukan demonstrasi, bahkan tentara itu meminta agar demonstran menembak orang tuanya kalau masih melakukan demo pemerintah.
“Kamu tembak saja bapakmu kalau kamu masih demo-demo,” kata Afnan menirukan perintah sang tentara, saat menghadiri program Menolak Lupa Forum Keadilan TV, Kamis, 21/12/2023.
Kalimat itu tidak lantas menyusutkan keberaniannya untuk terus melakukan demonstrasi. Menurut Afnan, justru keberanian dan semangatnya kian membara. Bahkan, lanjut dia, polisi dan tentara dianggap musuh serta sebagai pembangkit semangatnya dalam setiap demonstrasi.
“Kalau tidak ada TNI dan polisi tidak semangat. Belum dateng nih, musuhnya belum dateng,” ujarnya.
Namun Afnan tidak memungkiri bahwa ada sebersit rasa takut saat berhadapan dengan tentara dan polisi usai berdemonstrasi, karena tindakan represif aparat tersebut tidak hanya menyasar dirinya serta teman-temannya, melainkan kepada keluarganya.
Selain itu, pencipta Sumpah Mahasiswa ini juga mengaku sempat dipukul dari belakang oleh seseorang yang berperawakan seperti tentara, ketika dia sedang mengendarai motor seorang diri pada malam hari. Dia mengaku ketakutan dan melarikan diri melewati jalan tikus yang ada di daerah itu.
“Pernah sekali saya naik motor, pinjam motor teman, malam dan saya dipukul dari belakang, helmnya jatuh, saya ketakutan, karena saya orang kampung situ, (tahu) ada jalan tikusnya saya lari. Terus saya cuma bisa lihat orangnya potongan tentara gitu,” ungkapnya.
“Tapi tetangga saya besoknya cari ke koramil tentara, helm saya di situ. Habis itu setiap saya naik motor tidak ada yang bonceng di belakang, saya pasti selalu lihat spion dan kalau ada motor lewat dari belakang saya pasti ke tepi dulu. Itu cukup lama,” imbuhnya.
Menurut Afnan, rasa takut itu menghantuinya cukup lama. Tetapi, lanjutnya, rasa takut itu hadir saat tidak melakukan demonstrasi. Sebaliknya saat melakukan aksi dia mengaku tidak takut.
“Kalau saya pribadi, yang paling saya takut justru tidak pada saat demonya. jadi kan teman-teman menganggap saya ini punya saudara tentara, karena enggak ditangkap-tangkap,” tuturnya.
Afnan juga mengaku sempat menggulingkan mobil milik tentara saat melakukan aksi. Tidak hanya digulingkan mobil itu juga dibakar.
“Ada mobil, saya lupa mobil polisi atau tentara, maksudnya pelat tentara atau polisi, itu sampai digulingkan di depan gelanggang mahasiswa, di sini mahasiswa UGM, di sini Menwa, kita gulingkan. Waktu itu spontan, saya pengen tahu, saya bilang bakar, iya bakar,” pungkasnya.*
Laporan M. Hafid