Tragedi Kudatuli, 26 Tahun Pemerintah Tuli

Diskusi Publik dan Deklarasi Korban: Masyarakat Sipil #MelawanLupa, Rabu, 26/07/2023
Diskusi Publik dan Deklarasi Korban: Masyarakat Sipil #MelawanLupa, Rabu, 26/07/2023 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Tanggal 27 Juli selalu dikenang oleh Koalisi Masyarakat Sipil atas tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1996. Istilah ‘Kudatuli’ atau Kudeta Dua Tujuh Juli selalu digaungkan.

Ketua Umum PBHI Nasional Julius Ibrani menolak penggunaan istilah kudatuli. Menurutnya ini sama saja mengartikan kalau tragedi tersebut merupakan sebuah kudeta untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

Bacaan Lainnya

“Yang sebenarnya terjadi bukan kudeta. Kudeta berarti makar, sama dengan subversif,” ucap Pria yang biasa disapa Bang Ijul kepada Forum Keadilan, Rabu, 26/07/2023.

Peristiwa ini berawal dari perebutan kantor DPP PDI yang terletak di Cikini, Jakarta Pusat. Saat itu PDI sedang menghadapi perpecahan kongsi di internal PDI antara kubu Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi.

Tak berselang lama dari pertemuan kedua kubu tersebut, terjadi lah bentrokan. Di mana massa PDI pendukung Soerjadi menyerang kubu Megawati yang berada di kantor PDI.

Petrus Haryanto atau yang bisa dikenal sebagai Petrus adalah mantan Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD) sekaligus bagian dari Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Dirinya juga merupakan penggerak demonstrasi akbar besar-besaran dalam sejarah orde baru pertama, di tahun 1995 bergerak bersama buruh.

Dalam rekaman layar yang diputar di Diskusi Publik dan Deklarasi Korban: Masyarakat Sipil #MelawanLupa, Petrus Haryanto mengisahkan sedikit peristiwa tersebut.

Dia berujar bahwa pemerintah menuduh Partai Rakyat Demokratik sebagai dalang utama dari kerusuhan tersebut. Salah satu manifesto PRD adalah menunjukan sikap politik yang mendukung langkah menolak intervensi pemerintah ke tubuh PDI.

“Jadi diciptakan satu situasi bahwa PRD menjadi kambing hitam untuk urusan itu, sehingga ada legitimasi untuk melakukan situasi represif dengan penangkapan-penangkapan,” ujar Petrus.

Tiga hari setelah tragedi tersebut, pemerintah melalui Menkopolkam Susilo Sudirman; Jaksa Agung Singgih; dan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman melaporkan ke Presiden Soeharto bahwa PRD ialah dalang di balik kerusuhan tersebut dan menganggap PRD sebagai jelmaan partai komunis (Partai Komunis Indonesia).

Setelah dicap sebagai dalang kerusuhan, para pimpinan PRD dituduh melakukan makar. Mereka yang tertangkap ialah Petrus Haryanto, Budiman Sudjatmiko, Garda Sembiring, Eko Kurniawan dan beberapa aktivis lainnya. Mereka diadili dengan Undang-Undang Subversif.

UU No.5/1969 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi memuat ketentuan pidana yang berkaitan dengan kegiatan subversi. Terdapat 7 aspek kegiatan tersebut.

Pertama, menggulingkan pemerintahan sah dan aparatur negara; kedua, merongrong, menyelewengkan, memutarbalikkan Pancasila atau haluan negara; ketiga, menyebar rasa permusuhan, memancing perpecahan, pertentangan dan sejenisnya; keempat menyatakan simpati terhadap suatu negara yang bermusuhan dengan indonesia; kelima, pengrusakan bangunan fasilitas umum atau perorangan; keenam, kegiatan mata-mata; ketujuh, sabotase.

Namun pada 1999, Undang-Undang ini dicabut dengan alasan menciptakan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Berdasarkan laporan Komnas HAM, 5 orang tewas, 149 orang luka-luka dan 23 orang hilang. Asmara Nababan dan Baharudin Lopa, yang saat itu merupakan pimpinan Komnas HAM, menyatakan dengan tegas bahwa tragedi 27 Juli sebagai pelanggaran HAM berat karena memenuhi unsur terstruktur, sistematis dan masif sebagaimana diatur dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

“Oleh karenya hasil investigasi Komnas HAM harusnya ditindaklanjuti ke dalam proses penuntasan termasuk salah satunya yudisial,” ujar Julius dalam sesi diskusi tersebut.

Kasus ini sudah tidak diselesaikan lebih dari 20 tahun lamanya. Berbagai upaya telah dilakukakn korban, namun tidak ada satu pun pejabat tinggi yang dihukum.

“Kasus ini mandek hanya berjalan di tempat melalui pengadilan koneksitas dan hanya mengadili struktur aparatus di tingkat bawah,” ujar Petrus.

Petrus mengungkapkan beberapa nama-nama yang diduga terlibat pada peristiwa itu ialah Presiden Soeharto, Panglima ABRI, KasosPol, Pangdam, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

“Saya pikir negara secara keseluruhan bertanggung jawab karena sistematis,” ujarnya.

Petrus berharap nasib kawan-kawannya yang diculik paksa dapat diketahui keberadaannya dan kasus pelanggaran HAM ini dapat diselesaikan sehingga bisa menebus hutang di masa lalu.

“Kami melawan politik impunitas, kami juga sedang membangun gerakan melawan lupa, dan kami bagian dari kaum yang mempunyai utang terhadap masa lalu yang harus diselesaikan, yaitu korban pelanggaran HAM berat termasuk dalam hal ini kasus penculikan yang menimpa kawan-kawan kami termasuk yang saat ini nasibnya belum diketahui,” tutupnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi