FORUM KEADILAN – Mengenang peristiwa kekerasan 27 Juli 1996, koalisi masyarakat sipil dan perwakilan korban pelanggaran HAM masa lalu mendeklarasikan melawan lupa.
Pada acara diskusi tersebut, hadir dua korban pelanggaran HAM berat masa lalu, Maria Sanu, ibu kandung Stefanus atau korban tragedi kerusuhan 1998, serta Paian Siahaan, ayah kandung Ucok atau korban penculikan dan penghilangan paksa.
Sudah 20 tahun lebih negara abai dan tidak memedulikan korban pelanggaran HAM masa lalu. Maria Sanu, menagih janji yang telah diucapkan Presiden.
“Sampai saya dengan keluarga korban lain berharap cemas, jangan-jangan kasus ini di-petieskan,” ucap Maria Sanu di acara Diskusi Publik dan Deklarasi Korban: Masyarakat Sipil #MelawanLupa, Rabu, 26/07/2023.
Maria berpendapat bahwa proses hukum belum tetap berjalan. Sampai saat ini keluarga korban tidak lelah menagih dan berharap negara selesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Kapan akan selesainya, saya berharap yang benar dibenarkan, yang salah disalahkan. Jangan yang salah dibenarkan,” ujarnya sambil terisak.
Paian Siahaan berpendapat senada, dia menganggap korban masa lalu ditinggalkan dan tidak ada kemajuan dalam penyelesaian kasusnya.
“Padahal kami kan yang merasakan itu, seolah-olah perjuangan korban dianggap tidak ada,” lanjutnya.
Dia berpendapat bahwa di periode akhir kepemimpinan Jokowi, yang dilakukan hanya lah melakukan penyelesaian kasus secara non-yudisial melalui Instruksi Presiden No.2/2023.
“Sebenarnya yang ingin ditinggalkan Jokowi itu ia ingin menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) PP HAM,” ucap salah satu korban pelanggaran HAM, Paian Siahaan, saat diwawancarai Forum Keadilan.
Instruksi Presiden No.2/2023 tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (TIM PPHAM) adalah upaya terakhir yang ingin dilakukan Jokowi untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu.
Presiden berdalih bahwa ini adalah salah satu upaya negara untuk memenuhi hak korban atau ahli warisnya dan korban terdampak dari peristiwa pelanggaran HAM berat.
Maria mengeluhkan pertemuannya dengan Presiden Jokowi yang tidak pernah menghasilkan apa-apa. Dalam pertemuannya, ada 2 tuntutan yang Maria ajukan. Pertama, pelanggaran HAM berat masa lalu bukan lah rekayasa, ada orang tua yang menjadi korban.
“Kedua, kejaksaan harus menindaklanjuti pelanggaran HAM di masa lalu. Jangan keluarga korban diombang-ambing kan seperti bola pingpong,” imbuhnya.
Maria hanya berharap Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di akhir periodenya.
“Saya mohon Pak Jokowi, selesaikan lah pelanggaran HAM di masa lalu. Hak korban tolong diberikan yang pantas diterima oleh keluarga. Hanya itu, terima kasih,” tutupnya.
Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya melihat ada dua aspek yang menunjukkan mengapa negara seolah enggan menyelesaikan kasus HAM masa lalu.
Dimas menjelaskan, dua aspek tersebut ialah penegakan hukum yang minim dan tidak adanya political willingness.
“Dari sisi penegakan hukum sebenarnya kita punya acuan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, tapi sayangnya kewenangan proses penegakan hukum dibagi antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM,” ucapnya saat diwawancarai Forum Keadilan.
Sampai saat ini beberapa kasus pelanggaran HAM berat belum disidik oleh Kejaksaan Agung. Padahal, kata Dimas, penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM telah selesai.
Kata Dimas, Kejaksaan Agung sampai saat ini berdalih bahwa berkas perkara tidak memenuhi standar persyaratan formil dan materil, sehingga tidak bisa melanjutkan ke proses penyidikan.
Dimas berpandangan jika hal itu lah yang membuat proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara yudisial tersendat.
Dia juga menggarisbawahi Undang-Undang Pengadilan HAM. Ia menyebut bahwa produk ini intent to fail (sengaja dibuat untuk gagal).
“Sehingga kita bisa tarik pada kebijakan sekarang kenapa pada akhirnya (pemerintah) ngotot banget untuk meneruskan pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial, karena ada kerumitan yang itu justru lahir dari instrumen hukumnya,” imbuhnya.
Kedua adalah minimnya keinginan politik. Dimas berpendapat bahwa kekuatan politik masih memberikan karpet merah kepada orang-orang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM.
Mereka yang dimaksud ialah Dewan Pertimbangan Presiden Wiranto, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan beberapa anggota tim Mawar yang berada di Kementerian Pertahanan.
Dalam Diskusi Publik dan Deklarasi Korban: Masyarakat Sipil #MelawanLupa hadir pula Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Direktur Program Imparsial, Al Araf, dan dimoderatori oleh Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani.
Koalisi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa memandang bahwasanya sebagai bangsa harus memiliki kesadaran kolektif bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bukan hanya untuk kepentingan keluarga korban.
“Ini untuk kepentingan kita (masyarakat) yang menginginkan kepastian bahwa praktik kotor negara teror ala orde baru tidak terjadi lagi di masa mendatang,” ujar koalisi
Salah satu tuntutan koalisi ialah untuk tidak memberikan ruang politik kepada pelaku berada lama kekuasaan. Selain itu, pelaku-pelaku yang diduga bersalah harus diadili di hadapan hukum.
“Dengan menghukum para pelaku pelanggaran HAM itu adalah kita bisa dengan tenang mendapatkan kepastian bahwa kasus serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang,” tutup Koalisi.*
Laporan Syahrul Baihaqi