FORUM KEADILAN– Ketua Tim Khusus Pilkada Partai Buruh Said Salahudin mengatakan, pihaknya bakal menggugat aturan pencalonan Pilkada yang menyebut bahwa hanya partai politik (parpol) pemilik kursi DPRD yang berhak mengusung pasangan calon (paslon) di Pilkada.
Menurutnya aturan tersebut tidak adil dan sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pembatasan hak bagi parpol yang tidak mempunyai kursi DPRD untuk mengusulkan pasangan calon di pilkada sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu, 12/5/2024.
Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada sendiri menyatakan dalam hal parpol atau gabungan parpol mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah.
Sebagaimana hal tersebut dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.
“Aturan itu jelas tidak adil. Setiap parpol yang memperoleh suara pada pemilihan umum anggota DPRD tahun 2024, baik yang memperoleh kursi DPRD maupun yang tidak, seharusnya diberikan hak yang sama untuk mengusulkan paslon,” ujarnya.
Ia mengatakan, hal itu sudah ditegaskan oleh MK sejak 19 tahun yang lalu.
Oleh karena itu, berdasarkan Putusan MK tersebut, maka sejak pilkada langsung digelar untuk pertama kalinya di tahun 2005 semua parpol diperbolehkan mengusulkan pasangan calon termasuk untuk parpol yang tidak mempunyai kursi DPRD.
Ia mengingatkan, dulu dalam aturan pilkada yang tidak serentak tahun 2005 sampai 2013, syarat pengusulan paslon dengan menggunakan perolehan suara ditentukan minimal 15 persen.
“Maka pada masa itu semua parpol non-seat pun bisa ikut mengusulkan paslon di pilkada dengan cara berkoalisi,” katanya.
Sejak ditetapkan aturan pilkada serentak dengan skema peralihan (transitional provision) mulai 2015 sampai 2020, terjadi setidaknya dua perubahan aturan.
“Pertama, ambang batas pengusulan paslon dengan menggunakan perolehan suara angkanya dinaikan dari 15 persen menjadi 25 persen,” sambungnya.
Kedua, aturan tentang parpol yang diberikan hak untuk mengusulkan paslon pun diubah.
“Kalau sebelumnya berdasarkan putusan MK, semua parpol yang memperoleh suara sah di pemilu boleh mengusulkan pasangan calon. Tetapi sekarang hak itu dibatasi hanya untuk parpol yang mempunyai kursi DPRD saja. Di sini masalahnya,” ungkapnya.
Ahli Hukum Tata Negara tersebut pun menegaskan, seharusnya pembentuk UU Pilkada Serentak tidak boleh memuat norma yang substansinya sudah dibatalkan oleh MK.
“Dulu MK bilang, kata ‘atau’ pada ketentuan syarat pengusulan paslon menggunakan kursi ‘atau’ menggunakan suara harus dimaknai sebagai alternatif di antara dua pilihan,” tuturnya.
Oleh sebab itu, kalau parpol atau gabungan parpol ingin mengusung paslon dengan menggunakan kursi DPRD, silakan.
“Kalau mau mengusung dengan menggunakan perolehan suara pun diperbolehkan. Ketentuan itu berlaku bagi parpol yang punya kursi maupun parpol yang tidak punya kursi DPRD,” katanya.
Jadi seharusnya, kata ‘atau’ menurut MK juga harus dimaknai sebagai sikap akomodatif terhadap semangat demokrasi yang memungkinkan paslon yang diusung oleh partai yang tidak memiliki kursi di DPRD bisa ikut serta dalam Pilkada.*
Laporan Novia Suhari