Modus Penyusupan Partai Politik di Tubuh ASN dan Penyelenggara Pemilu

Ilustrasi Pemilu | Ist
Ilustrasi Pemilu | Ist

FORUM KEADILAN – Pengamat politik Ray Rangkuti mengungkap potensi ancaman baru yang harus dihadapi masyarakat Indonesia pada Pemilu 2024 mendatang.

Ancaman tersebut tidak lagi berkutat pada isu politik uang dan politik identitas yang selama ini menjadi kekhawatiran di setiap penyelenggaraan pemilu. Isu politik uang dan politik identitas menurut Ray sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses pemilu Tanah Air.

Bacaan Lainnya

“Politik uang itu kan memang setiap pemilu itu ada dan sudah biasa, politik identitas dulu kita khawatirkan akan bergejala pada 2024, tapi saya kira nggak. Kalau kita lihat sekarang, politik identitas itu nggak sehebat saat Pemilu 2014, 2017 di Pilkada DKI dan 2019 lalu,” ungkap Ray pada acara diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Kamis, 13/7/2023.

Yang paling mengkhawatirkan menurut Ray justru munculnya tren baru terkait isu netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan independensi penyelenggara pemilu.

“Netralitas ASN mulai terlihat gejalanya. Netralitas ASN cenderung meningkat dalam arti tidak netral,” sergah Ray.

Dinamika itu menurut Ray perlu dibahas bersama mengingat munculnya gejala di lingkungan ASN yang saat ini tidak takut diberi sanksi dan mengabaikan netralitas ASN demi peluang karier lebih baik karena menjadi bagian dari tim pemenangan pihak tertentu.

Padahal, ketidaknetralan ASN berdampak pada terjadinya diskriminasi layanan, munculnya kesenjangan dalam lingkup ASN, adanya konflik atau benturan kepentingan, dan ASN menjadi tidak profesional.

Secara tersurat, dalam menegakkan netralitas ASN, Komisi Aparatur Sipil Negara bersama Kementerian PAN-RB, BKN, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri sesungguhnya telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk membangun sinergisitas dan efektifitas koordinasi dalam pengawasan netralitas ASN.

Sayangnya, apa yang tersurat kerap kali pula tak berbanding lurus dengan kenyataan atau fakta sesungguhnya di lapangan.

Ia mengungkap rekrutmen ASN sekarang sudah tergantung dari rekomendasi partai politik makanya sangat berpengaruh pada kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu. Proses seleksi bahkan sudah berpindah dari independen sesuai kemampuan, rekam jejak, dan lainnya ke seleksi siapa yang direkomendasikan oleh partai.

“Sekarang ASN itu tidak takut disanksi. ‘Nggak apa-apa disanksi toh kalau yang kita dukung menang karier kita pasti akan naik kok’, gitu kira-kira. Netralitas ASN semakin dipertanyakan,” tuturnya.

Selain netralitas ASN, pengamat yang bernama asli Ahmad Fauzi itu mengatakan tantangan lain yang menjadi penyakit baru, terkait kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu.

“Begitu pula yang sedang naik tren-nya adalah soal kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu yang mulai keropos,” ucap Ray.

Fenomena ini menurut Ray telah menggejala bukan hanya di tingkat nasional, tapi dengan sendirinya tertata sampai ke daerah-daerah. Hal ini disebabkan oleh proses rekrutmen penyelenggara pemilu yang disinyalir kuat telah disusupi oleh partai politik.

“Di beberapa tempat yang saya tahu, saya sering baca partai politik dengan nyata dan terang-terangan membuat surat dukungan kepada si A B C, sebanyak lima orang, sebagai calon anggota KPU, benar atau tidak saya tidak tahu, tapi sudah sedemikian terbukanya,” tegasnya.

Dilalahnya, Komisi 2 DPR yang diberi wewenang oleh Undang-Undang melakukan fungsi kontrol dalam merespons dinamika tersebut, menurut Ray justru terlihat santai. Anggota DPR dalam kondisi saat ini kata Ray lebih mengutamakan dirinya sendiri untuk bisa tetap terpilih sebagai caleg di periode berikutnya.

“Komisi 2 terlihat masih santai-santai saja. Tapi kalau nanti setiap orang harus berpikir, ‘gue yang harus menang’ jangankan antar partai, kadang bisa beradu dengan teman sendiri, ini soal kepentingannya akan kelihatan,” pungkas Ray.* (Tim FORUM KEADILAN)