Sastrawan Remy Sylado Meninggal Dunia

Sastrawan Remy Sylado (IST
Sastrawan Remy Sylado. (IST)

FORUM KEADILAN – Sastrawan dan seniman Yapi Tambayong atau Remy Sylado meninggal dunia. Kabar ini disampaikan langsung oleh Anggota DPR, Fadli Zon.

“Selamat jalan Bang Remy Sylado. Baru beberapa hari lalu ngobrol ttg Elvis Presley n manajernya Kolonel Tom Parker. RIP,” kata Fadli Zon dalam cuitannya, Senin, 12/12/2022.

Istri Remy, Emmy Tambayong membenarkan kabar ini. “Iya betul, saya dengan anaknya, Pras. Barusan saja sekitar 30 menit yang lalu meninggalnya,” kata Emmy Tambayong, Senin, 12/12/2022.

Emmy mengatakan rencana pemakaman bagi Remy Sylado. “Siang menjelang sore ini sepertinya untuk pemakaman. Karena saat ini jenazah masih disemayamkan di rumah kami di Cipinang,” ujarnya.

Baca juga:

PBB Diminta Hormati KUHP Baru sebagai Yurisdiksi Domestik

Curhat Ronaldo di Instagram Soal Mimpi Terbesarnya yang Kini Pupus

Remy Sylado sudah lama sakit dan dirawat di RSUD Tarakan. Kondisi Remy Sylado ini menjadi pantauan Pemprov DKI Jakarta usai Gubernur Anies Baswedan menjenguknya pada Januari 2022 lalu.

Remy Sylado dikenal sebagai seniman serbabisa. Ia menulis novel hingga kajian bahasa. Salah satu novelnya yang terkenal adalah Cau Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa.

Yapi Panda Abdiel Tambayong atau Japi Tambayong dilahirkan di Makassar, 22 Juli 1945. Ia memiliki banyak nama pena. Jubal Anak Perang Imanuel, Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, dan yang paling familiar, Remy Sylado.

Ia juga sering menuliskan namanya dengan not angka 23761. Angka ini diambil dari kord pertama lirik lagu And I Lover Her milik The Beatles: 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do). Interpretasi lain, konon angka ini merupakan sebuah tanggal dimana Remy pertama kali mencium seorang perempuan pada 23 Juli 1961.

Namun, Remy sendiri mengaku angka itu dibuat secara asal-asalan. Angka ini kemudian ia gunakan untuk nama sebuah kelompok teater yang ia buat di Bandung, Dapur Teater 23761.

Remy mengawali kariernya sebagai seorang penulis ketika dirinya berusia 18 tahun. Tahun 1963, ia menjadi seorang wartawan dari surat kabar Sinar Harapan. Ia juga banyak menulis kritik, puisi, cerpen, dan novel.

Pada tahun 1965, Remy telah menjadi redaktur Harian Tempo Semarang sampai tahun 1966. Ia lanjutkan kariernya menjadi redaktur Majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970.

Selain berkarier sebagai jurnalis, Remy juga aktif mengajar di Akademi Sinematografi Bandung sejak 1971 dalam mata kuliah Estetika dan Dramaturgi.

Puisi-puisi mbeling karya Remy dibukukan ke dalam buku puisi berjudul Puisi Mbeling yang memuat 143 puisi ekslusif Remy dari tahun 70-an.

Kumpulan puisinya, Kerygma & Martyria juga berhasil mencuri perhatian public dan meraih penghargaan dari MURI sebagai penulis buku puisi tertebal, 1056 halaman dan berisi 1000 puisi.

Novel Kerudung Merah Kirmizi juga mengantarkann Remy meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002.

Remy kerap mengangkat tema dan latar budaya yang jarang disentuh seperti novel yang mengangkat budaya Tionghoa seperti Ca Bau Kan, Siau Ling, dan Sam Pho Kong, kemudian Parijs van Java yang berlatar kehidupan di masa kolonial Belanda, hingga Kembang Jepun yang mengisahkan tentang rumah pelacuran di Surabaya yang dibangun oleh orang Jepang.

Selain berkesenian, Remy juga banyak diundang untuk mengisi ceramah teologi. Secara khusus, ia mendalami teologi kontekstual dan teologi apologetik.*