FORUM KEADILAN – Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyoroti kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) saat ini.
Ubaid juga menyayangkan pernyataan dari Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie, yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi (PT) adalah kebutuhan tersier.
“Itu mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah,” kata Ubaid, dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 19/5/24.
Menurut Ubaid, meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar.
“Jika Pendidikan Tinggi (PT) adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah (yang masuk program Wajib Belajar 12 Tahun) yang merupakan kebutuhan primer, apakah pemerintah sudah membiayai?,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS, jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung, pada 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%).
“Jika kalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar,” tegasnya.
Sedangkan untuk PT, berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.
Oleh karena itu, Ubai mengatakan JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan indonesia.
“Pendidikan hingga SMA/SMK saja tidak cukup, anak-anak Indonesia harus bisa mendapatkan layanan pendidikan tinggi perguruan tinggi,” katanya.
Sebab itu, negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi.
Sedangkan, mengenai polemik tingginya biaya UKT ini, JPPI meminta Kemendikburistek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan letakkan PT sebagai kebutuhan tersier, karena menyalahi amanah UUD 1945.
Selain itu, DPR RI, Kemendikbudristek, bersama masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong PTN menjadi PTN-BH yang menjadi penyebab melambungnya biaya UKT.
“Kemendikbudristek harus cabut Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT,” katanya.
Ia juga mendukung Pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah.
“Pimpinan kampus harus memperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan Menyusun Kembali besarn UKT disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa,” tuturnya.
Kemudian, JPPI meminta para guru besar di kampus tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT ini.
“Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis,” tandasnya. *
Laporan Novia Suhari