Bawa Berkas DJKA, Firli Bisa Kena Masalah Baru

Firli Bahuri | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan
Firli Bahuri | Ari Kurniansyah/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri membawa dokumen bukti penanganan kasus suap di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) ke sidang praperadilannya. Tindakannya itu, dapat membuat permasalahan hukum yang baru.

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menolak gugatan praperadilan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri, terkait statusnya sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Bacaan Lainnya

Dalam proses praperadilannya, Firli sempat membawa berkas penanganan kasus suap DJKA. Dokumen itu dimaksudkan menjadi bukti tambahan Filri dalam pembelaannya.

Namun begitu, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, dokumen tersebut harusnya bersifat rahasia. Tak sepatutnya dokumen itu dibawa oleh Firli ke sidang praperadilannya.

“Menurut saya, Firli sudah keterlaluan. Hanya karena membela diri saja, dia membuka hal-hal yang seharusnya menjadi rahasia. Dia mementingkan dirinya sendiri dibanding KPK,” katanya kepada Forum Keadilan, Selasa 19/12/2023.

Boyamin menjelaskan, ada tiga hal yang telah dilanggar Firli. Pertama, Firli telah melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik dengan membocorkan dokumen rahasia penyidikan.

Lalu, ia juga melakukan tindakan menghalangi penyidikan. Sebab, jika kubu Firli mempublikasikan dokumen tersebut, nama-nama yang tersangkut DJKA, yang tidak pernah disebut sebelumnya, berpotensi bocor keluar.

Selain itu, Firli juga dianggap melanggar kode etik. Sebagaimana diketahui, saat ini ia masih menjadi Ketua KPK meskipun berstatus nonaktif. Dengan membawa bukti dokumen rahasia penyidikan untuk membela diri, Firli telah melanggar etik karena ia tidak menjaga kerahasiaan dokumen tersebut.

Boyamin menduga, mungkin Firli ingin publik menilai bahwa sebenarnya kasus penetapan tersangka dirinya itu tidak sah. Seakan-akan, ia dikriminalisasi dengan penetapannya sebagai tersangka.

“Sehingga kasus DJKA itu dibawa. Seakan-akan ingin menunjukan kepada hakim. Jadi, begini loh hakim ‘saya ini jadi tersangka, hanya semata-mata karena saling bongkar borok,’ kira-kira gitu loh,” lanjutnya.

Saat disinggung soal hakim yang tidak mempermasalahkan adanya dokumen rahasia tersebut di sidang praperadilan, Boyamin justru lebih tertarik dengan cara Firli mengakses dokumen tersebut.

“Pimpinan KPK yang sudah pensiun saja, kalau ditanya mengenai kasus dulu, dia tidak akan buka. Karena mereka punya janji integritas,” tegasnya.

Pertanyaan yang sama juga keluar dari Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman. Ia bertanya, dari mana dokumen itu Firli dapatkan?

Zaenur menjelaskan, kalau dokumen tersebut diakses secara melawan hukum, maka timbul pelanggaran hukum yang baru. Sama halnya Boyamin, Ia menganggap, tindakan yang dilakukan Pimpinan Anti Rasuah nonaktif itu merupakan bentuk obstruction of justice atau merintangi penyidikan.

Sebagaimana diatur di Pasal 21 UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi dapat dipidana penjara maksimal 12 tahun atau denda paling banyak Rp600 juta.

“Karena dengan alat bukti dibawa keluar, ini akan membahayakan penyidikan. Membuka nama penyidik dan saksi apalagi nama pelapor. Itu sangat berbahaya dan bisa dikategorikan sebagai obstruction of justice,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Selasa 19/12.

Selain itu, Firli juga melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik. Dalam UU ini, sanksinya pidana.

“Jadi, KPK perlu melakukan review siapa yg mengakses dokumen tersebut. Apakah diakses secara melawan hukum atau menurut hukum? Kalau melawan hukum, KPK harus melihat kemungkinan untuk mempersoalkan secara pidana dengan dua dasar itu,” sergahnya.

Kemudian, kata Zaenur, tindakan Firli juga berpotensi melanggar kode etik. Meskipun ia dinonaktifkan sebagai pimpinan, Firli masih seorang Ketua KPK. Oleh karena itu, Zaenur mendorong Dewan Pengawas KPK untuk segera melakukan pemeriksaan.* (Tim FORUM KEADILAN)

Pos terkait