Opini: Restorative Justice dalam Hukum di Indonesia

Oleh Erika Novalia Sani

 

Bacaan Lainnya

FORUM KEADILAN – KONSEP restorative justice atau keadilan restoratif tergolong baru dalam proses eksekusi pidana dan perlakuan terhadap pelaku tindak pidana. Dalam restorative justice ditawarkan bentuk penyelesaian dari berbagai perbuatan hukum yang terjadi di luar proses peradilan pidana, sehingga tidak hanya mengandalkan proses hukum yang sedang berjalan. Namun, korban sebagai pihak yang paling dirugikan (penderitaan) dan tanggung jawab pelaku tetap memperoleh keadilan dan menyelesaikan masalah.

Erika Novalia Sani

Contoh kasus yang memanfaaatkan restorative justice adalah kasus artis Lesti Kejora dengan suaminya, Rizky Billar yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Lesti melaporkan suaminya kepada pihak kepolisian bahkan sudah pada tahap Rizky ditahan. Namun, akhirnya Lesti mencabut laporan tersebut setelah diadakan mediasi dengan tujuan penerapan restorative justice dan berdamai dengan suaminya. Mediasi dihadiri oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, kemudian dari Polda Metro Jaya, Wasidik, Propam, Hukum Polres Metro Jakarta Selatan.

Definisi dan Pendekatan Restorative Justice

Menurut Tony F Marshall, restorative justice adalah sebuah proses di mana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan menggunakan restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berperkara dengan kepentingan masa depan.

Adapun pendekatan restorative justice lebih menitikberatkan pada situasi yang menciptakan keseimbangan dan keadilan bagi pelaku tindak pidana dan bagi korban itu sendiri. Proses peradilan pidana diubah dengan menitikberatkan proses dialog dan mediasi untuk mencapai kesepakatan penyelesaian perkara pidana yang lebih seimbang dan adil bagi pihak korban dan pelaku. Makanya, restorative justice mempunyai arti memulihkan keadilan, dan rehabilitasi di sini mempunyai arti yang lebih luas daripada yang dikenal dalam proses pidana sehubungan dengan ganti rugi atau ganti rugi kepada korban.

Restorative justice dipandang sebagai cara berpikir baru yang dapat digunakan untuk menanggapi berbagai kejahatan dan untuk menanggapi ketidakpuasan terhadap kinerja sistem peradilan pidana saat ini. Selanjutnya konsep keadilan restoratif juga dianggap sejalan dengan nilai Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum Indonesia dan merupakan sistem hukum yang berasal dari berbagai sistem hukum yang digunakan masyarakat Indonesia. Termasuk, sistem hukum adat dan sistem hukum Islam yang mengutamakan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan (konflik) yang terjadi antar-anggota masyarakat.

Penegakan hukum Indonesia yang dianggap telah melanggar keadilan umum dan dianggap jauh dari nilai-nilai Pancasila, melalui konsep restorative justice dalam penyelesaian sengketa atau kasus dipandang sebagai semacam penyelesaian yang memenuhi nilai-nilai Pancasila, terutama mengenai nilai-nilai Pancasila sila ke empat (musyawarah). Namun tidak mengurangi atau melindungi kepentingan korban, tetapi juga merongrong nilai keadilan dan manfaat bagi para pihak. Sehingga berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka menarik untuk dikaji secara akademis dan mendalam dengan rumusan masalah yang pertama adalah bagaimana bentuk konsep restorative justice dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

Restorative Justice vs Kearifan Lokal

Konsep restorative justice sebenarnya merupakan wujud hukum adat sebagai kearifan lokal yang sudah ada dalam masyarakat Indonesia. Sehingga dapat dikatakan RUU KUHP mengakui hukum adat (the living law) dengan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Konsep restorative justice dalam penanganan tindak pidana mengedepankan aspek moral, agama, sosial, ekonomi, serta berbagai pertimbangan lainnya. Dengan demikian, restorative justice dapat memulihkan keadaan yang telah rusak.

Secara formal proses peradilan pidana memperlukan waktu lama serta tidak menjamin tercapainya kepastian bagi pelaku maupun korban. Selain itu pula proses peradilan secara litigasi tidak serta merta mampu memenuhi atau memulihkan hubungan antara korban dan pelaku. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban sebagai saksi dalam persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan secara kewenangan tetap berada di Jaksa yang telah menerima berkas penyidikan yang diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil.

Sedangkan, kedudukan pelaku berada di kursi pesakitan yang harus selalu siap untuk menerima sanksi pidana yang akan diputuksan kepadanya. Berbanding terbalik tentunya proses peradilan secara litigasi dengan non litigasi melalui restorative justice pada kasus pidana. Konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban atau keluarga korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Perkembangan hukum pidana dalam penyelesaiaan permasalahan non-litigasi dikenal pula dengan sistem mediasi penal. Penerapan praktik hukum pidana, mediasi penal dianggap sebagai turunan dari restorative justice, karena tidak perlu menjalankan hukum pidana melalui pengadilan.

Secara prinsip penerapan restorative justice mengembalikan konflik kepada para pihak guna menekan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengembalikan dampak dari ketidakadilan sosial melalui cara yang sederhana, tetap memberikan pelaku keadilan daripada keadilan formal (hukum) korban tidak mendapatkan keadilan apa pun. Restorative justice juga mengupayakan untuk me-restore keamanan, penghormatan pribadi, martabat dari pihak korban dan yang tidak kalah penting adalah sense of control.

Keadilan Restoratif dalam Perpol 8/2021

Pada 19 Agustus 2021, Kapolri Jenderal Polisi Drs Listyo Sigit Prabowo MSi menandatangani Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, tercatat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2021 Nomor 947. Perpol ini merupakan langkah Polri dalam mewujudkan penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi kepada pemidanaan merupakan suatu kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Peraturan Polri tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan keadilan restoratif merupakan konsep baru dalam penegakan hukum pidana yang mengakomodasi norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai solusi sekaligus memberikan kepastian hukum terutama kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat, guna menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang memenuhui rasa keadilan semua pihak, yang merupakan wujud kewenangan Polri sesuai dengan Pasal 16 dan Pasal 18 Undang-Undang No.02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula. (Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri No 8/2021) Penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif harus memenuhi persyaratan umum dan khusus.

Persyaratan umum berlaku pada kegiatan penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan, sedangkan persyaratan khusus hanya berlaku untuk tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif pada kegiatan penyelidikan atau penyidikan. Persyaratan umum, penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif tersebut meliputi materiil dan formil. Persyaratan materiil meliputi: tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; tidak berdampak konflik sosial; tidak berpotensi memecah belah bangsa; tindak radikalisme dan separatisme; bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan; dan bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.

Sedangkan, persyaratan umum berupa persyaratan formil meliputi: perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditandatangani oleh para pihak, kecuali untuk tindak pidana narkotika; pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, berupa pengembalian barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan
dari akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban (kecuali untuk tindak pidana narkotika). *

Erika Novalia Sani SH CM

  • Advokat mediator bersertifikat Mahkamah Agung (MA)
  • Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung