FORUM KEADILAN – Ketua Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mempersoalkan proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang dilakukan pada pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Boyamin mengajukan dua permohonan ke Mahkamah, yang pertama Perkara Nomor 160/PUU-XXII/2024 dan kedua atas nama organisasi MAKI dalam perkara Nomor 163/PUU-XXII/2024.
Boyamin menguji konstitusionalitas norma Pasal 30 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Pasal ini mengatur ketentuan bahwa pimpinan pemilihan pimpinan KPK oleh DPR berdasarkan calon anggota usulan Presiden.
“Saya sudah menyampaikan kepada Presiden dan DPR untuk mendaftar calon anggota Dewan Pengawas KPK, yang mana panselnya, panitia seleksinya, semestinya dibentuk oleh Presiden 2024 (Prabowo Subianto),” kata Boyamin dalam persidangan, Kamis, 28/11/2024.
Sebab proses seleksi capim KPK dan Dewas tidak dibentuk oleh Presiden Prabowo, kata dia, hal tersebut telah memberikan kerugian konstitusional karena dirinya tidak bisa mendaftar sebagai calon Dewas KPK.
“Saya tidak mau mendaftar panitia seleksi yang dibentuk Pak Jokowi karena menurut versi saya itu tidak sah,” sambungnya.
Selain itu, kata Boyamin, MK telah memutuskan masa jabatan Pimpinan KPK dan Dewas KPK adalah selama 5 tahun (sebelumnya 4 tahun) dengan berbagai pertimbangan yang salah satunya untuk independensi KPK maka pemilihannya hanya dilakukan sekali oleh Presiden dan DPR.
Boyamin menyebut bahwa Mahkamah dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 telah menegaskan bahwa pembentukan Pansel Capim KPK dan Dewas periode 2024-2029 harus dibentuk Presiden Prabowo.
Lebih lanjut, Boyamin menjelaskan bahwa Presiden Prabowo pula yang harus menyerahkan hasil pansel kepada DPR-RI periode 2024-2029 untuk dibahas dan disetujui sebanyak 5 orang, yang kemudian dilantik menjadi Pimpinan KPK dan Dewas KPK periode 2024-2029.
Menurut Boyamin, Presiden Joko Widodo telah membentuk Pansel Calon Pimpinan KPK dan Dewas KPK pada 2019. Padahal pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK dan Dewas KPK periode 2024-2029 semestinya dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Karena memang di Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/2022 yang dulu diajukan Pak Nurul Ghufron itu jelas menyatakan di sana dalam pertimbangannya adalah Presiden Jokowi sudah dinyatakan memilih di tahun 2019 dan, sehingga yang harusnya membentuk pansel (panitia seleksi) dan menyerahkan pada DPR adalah Presiden periode 2024-2029,” katanya.
Masih dalam persidangan yang sama, Boyamin memaparkan pokok permohonan Perkara Nomor 163/PUU-XXII/2024.
Boyamin menjelaskan, MAKI berupaya menjaga KPK agar di masa depan tidak menghadapi gugatan dari tersangka dengan alasan pimpinan KPK tidak sah. Menurutnya, hal ini dapat terjadi jika pansel pimpinan KPK tidak dibentuk oleh Presiden periode 2024–2029.
“Kerugian dan legal standing MAKI adalah agar KPK tidak digugat oleh tersangka-tersangka dengan alasan kepemimpinan yang tidak sah,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Boyamin dalam petitumnya meminta MK menyatakan kata “Presiden” pada Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang (UU) KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Presiden yang masa jabatannya sama dengan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK”.
Boyamin juga meminta MK menyatakan kata “Pemerintah” pada Pasal 30 ayat (2) UU KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Pemerintah yang masa jabatannya sama dengan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK”.*
Laporan Syahrul Baihaqi