FORUM KEADILAN – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (RSK) mendatangi kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam RI) Mahfud MD untuk mendesak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Rabu, 16/8/2023.
Perwakilan koalisi RSK mengirimkan surat terbuka kepada Mahfud MD untuk segera merevisi UU Peradilan Militer. Perwakilan koalisi mengatakan bahwa surat tersebut telah diterima bagian penerima tata persuratan Kemenko Polhukam.
Kedatangan Koalisi RSK ke kantor Kemenpolhukan dilatarbelakangi pada proses hukum Eks Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto yang menjadi perhatian publik.
Plt. Kadiv Hukum KontraS Andrie Yunus menyebut bahwa setiap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum, bukan di peradilan militer.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendorong pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU Peradilan Militer.
“Kami mendorong kepada DPR dan Pemerintah untuk membahas melalui proses legislasi untuk memperbaiki struktur peradilan militer,” ujar Andie kepada wartawan.
Salah satu agenda reformasi 1998 yang belum dituntaskan adalah reformasi TNI yang berkaitan dengan Peradilan Milter. Staf Advokasi PBHI Annisa Azzahra menyebut, pemerintah dan DPR harus mulai merevisi UU Peradilan Militer.
“Ketika ada anggota militer aktif yang melakukan tindak pidana umum akhirnya kasus-kasus mereka dialihkan ke pengadilan militer, Pemerintah dan DPR Komisi 1 secara tegas harus memulai merevisi UU Peradilan Militer,” ucap Annisa.
Sebelumnya Menko Polhukam Mahfud MD setuju dengan adanya usulan revisi UU Peradilan Militer. Selain itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga sependapat agar UU 31/1997 segera direvisi.
Apakah ini semata-mata hanya semacam gimik pejabat publik belaka untuk mengurangi kegaduhan di masyarakat?
Dalam wawancara terpisah, Peneliti Politik dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie menyebut, terlepas hal itu gimik atau bukan merupakan urusan lain. Menurutnya, yang paling utaman ialah pernyataan pejabat publik bagi koalisi dalam konteks advokasi adalah sebagai sebuah standing position.
Kedua, pernyataan pejabat publik yang mendukung adanya revisi UU Peradilan Militer dapat menjadi alat tagih bagi publik ketika persoal yang sama muncul kembali di kemudian hari.
“Jadi paling tidak ke depannya kita bisa memasukkan beberapa pernyataan pejabat publik sebagai bukti bahwa pejabat itu juga ada yang mendorong revisi UU Peradilan Militer,” ucapnya kepada Forum Keadilan.
Selain itu, Ikhsan menyebut pernyataan pejabat publik bisa menjadi alat uji ke depannya pada sikap mereka pada isu yang sama.
“Misalnya ke depannya berubah posisi, berubah sikap, itu juga bisa kita jadikan pernyataan hari ini untuk menguji integritasnya pada masalah yang berkaitan pada isu reformasi sektor keamanan,” tuturnya.
Ikhsan berharap pengerjaan revisi UU Peradilan Militer nantinya dapat berjalan dengan tepat dan tidak terburu-buru. Dirinya mencemaskan apabila pengerjaan UU terburu-buru, akan ada banyak hal yang tidak terakomodir.
“Misalnya kalau kita lihat dari kasus Omnibuslaw segala macam itu banyak pengaturan-pengaturan yang tidak mencerminkan kepentingan publik,” ujarnya.
Selain itu, andaikata UU ini dimasukkan dalam prolegnas tahun 2024, Ikhsan meminta DPR dan Pemerintah untuk melibatkan partisipasi publik yang seluas-luasnya.
“Terlepas waktu pembahasannya cepat atau lambat, kita ingin fokus pada substansinya, pelibatan elemen masyarakat, dan juga mengakomodir isu-isu yang memang menjadi masalah dalam UU tersebut,” tutupnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi