Pencabutan Bebas Visa Seharusnya Menyasar Negara Berkonflik

Ilustrasi visa Indonesia | Ist

FORUM KEADILAN – Kebijakan pencabutan sementara kebijakan bebas visa kunjungan untuk 159 negara yang diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikritik karena tak memperhitungkan dampak pariwisata Indonesia di mata dunia.

Pemberhentian bebas visa kunjungan (BVK) 159 negara ke Indonesia diputuskan Presiden Jokowi berdasarkan evaluasi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2016 yang dinilai tak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebelum dicabut, 159 negara tersebut termasuk dalam 169 negara penerima bebas visa kunjungan yang diatur dalam Perpres tersebut.

Bacaan Lainnya

Alasan lain pencabutan BVK disebut juga terkait maraknya gangguan ketertiban umum dan penyebaran penyakit dari negara yang belum dinyatakan bebas penyakit tertentu dari World Health Organization (WHO).  Pencabutan BVK 159 negara saat ini diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-GR.01.07 tahun 2023 yang disahkan pada tanggal 7 Juni 2023.

“Pasti ada evaluasi, dulu kita buka total. Evaluasinya memberikan manfaat kepada negara, ndak? Kalau ndak mesti (dihentikan). Oh, ini ndak, negara ini perlu dibuka atau tutup? Pasti dievaluasi,” ujar Jokowi, Rabu, 21 Juni 2023 lalu.

Menanggapi kebijakan tersebut, ekonom I Gede Sandra menyebut dampak yang terjadi ke sektor pariwisata akan cukup besar.

“Dulu saat pembentukan kebijakan itu tujuannya untuk meningkatkan turisme ke Indonesia. Bila dicabut, maka dampaknya ke sektor pariwisata akan cukup besar,” ungkapnya kepada Forum Keadilan pada Sabtu, 24/6/2023.

Ia juga menyebut pembatasan ini akan membuat kesan Indonesia tidak ramah di mata dunia. Bahkan akibatnya, upaya sektor pariwisata untuk pulih usai pandemi Covid-19 akan semakin lambat.

Soal evaluasi yang akan dilakukan pemerintah, Gede Sandra pun berharap kebijakan ini segera dikembalikan sesuai dengan Perpres Nomor 21 tahun 2016 agar bisa kembali meningkatkan pendapatan Indonesia dari sektor pariwisata.

 

Uji Publik

Gede Sandra  berpendapat Indonesia seharusnya memberikan batas minimum tabungan dalam pengajuan visa jika ingin menyasar peningkatan devisa negara di sektor pariwisata. Hal itu juga meminimalisir adanya wisatawan mancanegara yang membuat ulah.

“Tentu harus diberikan syarat tersebut (minimum tabungan). Kita ingin turis benar-benar ingin menghabiskan tabungannya di sini, tapi yang datang malah bule yang ingin bekerja, yang datang malah bule-bule dari negara yang sedang berperang dan ingin cari keselamatan serta peruntungan di sini,” tambahnya.

“Yang bermasalah kan bule-bule dari negara yang sedang perang,” tambahnya.

Dengan adanya evaluasi yang dibeberkan Jokowi, pemberian fasilitas bebas visa kunjungan hanya berlaku bagi 10 negara anggota ASEAN saja. Sementara Visa on Arrival (VoA) berlaku untuk 92 negara. Kondisi itu tentunya berpengaruh terhadap pendapatan di Indonesia. Sebagai gambaran, ia menyebutkan dari 5,4 juta wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia di tahun 2022, hanya 1,7 juta atau sekitar 30 persen berasal dari ASEAN.

Bukan hanya berdampak pada sektor pendapatan dari sisi pariwisata, ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini juga disebutnya akan terganggu.

“Seharusnya dalam membuat kebijakan selalu ada uji publik. Mengundang para pakar terkait untuk mencari solusi bersama untuk bangsa,” tutupnya.

 

Agnes Setiawati