Pemerasan di Internal Polri Adalah Produk Sistem

Pengamat kepolisian Bambang Rukminto. | ist
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto. | ist

FORUM KEADILAN – Seorang oknum Brimob Polda Riau bernama Bripka Andry Darma Irawan viral usai curhat di media sosial soal dirinya yang tetap dimutasi meski telah menyetor uang hingga Rp650 juta ke atasannya. Andry menyebut, dirinya kerap diminta sang komandan untuk menghimpun dana dari luar kantor untuk berbagai keperluan.

Banyaknya kasus di tubuh kepolisian yang mencuat ke publik, semakin memperlihatkan bagaimana praktik-praktik demikian seolah menjadi hal yang lumrah di institusi tersebut. Padahal, Polri kerap mengusung slogan-slogan yang memiliki semangat reformasi.

Bacaan Lainnya

Slogan Presisi yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, merupakan akronim dari prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Sebelumnya, Polri juga telah mengusung slogan Promoter yang merupakan kepanjangan dari profesional, modern, dan terpercaya. Namun, slogan hanya sekadar slogan. Nyatanya di lapangan, masih banyak oknum-oknum polisi yang bermain dan menyalahi aturan.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, kejadian yang dialami Andry adalah produk dari sistem yang sudah mendarah daging di tubuh kepolisian.

Bambang mengatakan, slogan atau jargon itu sebuah harapan dari kondisi yang belum atau tidak ada.
Jargon Presisi itupun juga harapan.

“Artinya sebelumnya memang kinerja kepolisian tidak atau minimal belum prediktif, belum responsibilitas (bertanggung jawab) dan belum melakukan transparansi berkeadilan,” kata Bambang saat dihubungi Forum Keadilan, Selasa, 6/6/2023.

Menurut Bambang, sejumlah kasus yang mencuat, seperti kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa, dan oknum-oknum lainnya adalah produk sistem rekruitmen, promosi dari sistem manegemen SDM Polri.

“Level jenderal yang mengisi jabatan-jabatan penting tentu bukanlah bentuk cacat produksi sebuah sistem. Makanya perlu banyak evaluasi sistem yang harus dilakukan internal Polri,” kata Bambang.

Meskipun, lanjut Bambang, evaluasi itu sangat sulit dilakukan dan selama 24 tahun pasca pemisahan TNI-Polri, harapan terkait reformasi Polri yang profesional, meninggalkan kultur militeristik masih jauh dari kata tercapai.

“Berharap perubahan dilakukan oleh internal Polri sendiri sepertinya sangat sulit karena mereka juga bagian dari sistem. Makanya perlu ada dorongan eksternal terutama negara melalui political will presiden sebagai kepala negara untuk mempercepat perubahan Polri yg lebih baik,” ungkap Bambang.

Terkait kasus Bripka Andry Darma Irawan, dimana seorang anggota disuruh mencari dana sampai Rp 650 juta tentu tidak lumrah.
“Layak dipertanyakan dalam rangka apa dan untuk apa dana tersebut? Indikasinya tentu bisa mengarah pada tindak pidana pungli atau minimal gratifikasi,” katanya.

“Bila ditemukan pelanggaran kewenangan yang dilakukan atasan, tentu juga harus diusut dan semua harus disidang KKEP,” imbuh Bambang.

Disisi lain, lanjutnya, bila benar ada demosi bagi bawahan, tentu juga layak dipertanyakan. Demosi tanpa ada sidang disiplin atau etik tentu merupakan kesewenang-wenangan bagi anggota.

“Demosi dengan sanksi berupa mutasi itu adalah sanksi ringan, karena kontrak anggota kepolisian bertugas di seluruh wilayah NKRI.
Meskipun kontrak personel Polri bisa ditugaskan di seluruh Indonesia, mutasi tetap harus dijelaskan alasan-alasannya,” jelas Bambang.

Kemudian, Bambang juga menyoroti ihwal langkah anggota Brimob tersebut yang mengunggah keluhan di medsos. Menurutnya, ini adalah fenomena baru terkait keluhan personel pada layanan internal Polri pada anggotanya.

“Artinya ada saluran yang macet terkait pelayanan keluhan anggota, bahkan ada indikasi anggotapun tidak percaya pada institusinya untuk mendapat perlakuan yang adil oleh institusinya,” kata dia.

Sepengamatan Bambang, fenomena anggota mengeluh di medsos ini mulai marak dalam dua tahun belakangan ini. “Dan ini adalah fenomena puncak gunung es terkait layanan internal,” tandasnya.

Untuk itu, kata Bambang, Polri harus melakukan evaluasi terkait layanan tersebut, karena jelas akan menjadi preseden buruk. Korbrimob maupun Propam harus turun tangan untuk menangani hal tersebut.

“Tetapi juga harus fair dan obyektif mengusut masalah tersebut, jangan sampai menyudutkan anggota yang merasa didzolimi atau diperlakukan tidak baik atasannya,” pungkas Bambang. *