Pakar: Pajang Uang-Orang Hasil Ungkap Tindak Pidana Itu Berlebihan

FORUM KEADILAN – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menyampaikan pandangannya terkait pentingnya pengaturan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) guna mengontrol tindakan aparat penegak hukum yang dinilai berlebihan saat menggelar konferensi pers dalam pengungkapan suatu tindak pidana.
“(Memajang uang triliunan dan memperlihatkan orang yang statusnya masih terduga) itu namanya tindakan berlebihan. Kalau menurut saya ya, tidak ada faedahnya juga,” kata Chairul Huda usai RDP dengan Komisi III, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 19/6/2025.
Chairul menilai tindakan aparat dalam memamerkan barang bukti uang dalam jumlah besar dan memperlihatkan tersangka yang statusnya masih terduga justru hanya membentuk opini publik yang bisa menyesatkan.
“Padahal kan bisa jadi itu adalah uang yang ada di bank. Kenapa mesti harus dipajang uangnya? Kan cukup ditunjukkan saja bahwa ini sudah diblokir. Nah itu menurut saya tindakan yang berlebihan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti dampak serius dari pembentukan opini publik tersebut terhadap objektivitas hakim saat proses peradilan.
“Hakim tidak lagi bisa objektif menilai. Karena masyarakat sudah terbentuk opininya bahwa terdakwa bersalah. Karena ada uang segitu banyak. Padahal kan seharusnya orang ini masih disangka melakukan tindak pidana atau satu pihak masih disangka melakukan tindak pidana,” tegasnya.
Sebab itu, ia meminta aparat penegak hukum lebih menghormati hak-hak dari sosok yang bersangkutan, dan juga tidak menyulitkan hakim.
“Ya hormati dong hak-haknya. Jangan kemudian seolah-olah dibentuk suatu opini seolah-olah dia sudah mesti bersalah. Dan itu menyulitkan hakim,” sambungnya.
Ia mengungkapkan, hakim kerap kali mengalami tekanan dari opini publik yang telah terbentuk, sehingga cenderung memutus terdakwa bersalah. Padahal, di tingkat kasasi tidak jarang terdakwa justru dibebaskan karena bukti tidak cukup kuat.
“Padahal nanti di pengadilan pada tingkat kasasi dibebaskan. Kan banyak kasus seperti itu. Sudah dinyatakan bersalah karena opini sudah terbentuk. Tetapi di kasasi dibebaskan karena ternyata memang tidak cukup dasar,” katanya.
Chairul juga mencontohkan kasus Wilmar Grup, yang menurutnya tidak perlu ada aksi eksesif seperti memajang uang sitaan secara terbuka.
“(Contoh Kasus Wilmar Grup), ya iya seperti itulah. Kalau memang sudah disita ya kan tinggal ditunjukkan saja bahwa uang ini ada di bank kita blokir atau kita sita. Kan selesai. Enggak perlu membuat itu (pajang barang bukti uang). Enggak perlu secara eksesif.” jelas Huda.
Ia menambahkan, padahal sering kali uang yang dipajang sebagai barang bukti dalam pengungkapan kasus justru tidak merepresentasikan hasil sitaan yang sebenarnya.
Chairul juga memperingatkan agar KUHAP yang baru tidak membenarkan praktik-praktik yang justru melanggar asas praduga tak bersalah dalam sistem peradilan.
“Nah itu enggak boleh di dalam sistem peradilan. Saya katakan tadi kan ada asas praduga tidak bersalah. Kalau seperti itu nanti orang ya enggak ada kesempatan untuk bisa membuktikan. Karena hakimnya sudah terkooptasi oleh opini publik,” pungkasnya.*
Laporan oleh: Novia Suhari