Kamis, 17 Juli 2025
Menu

LPSK Dorong Penguatan Restitusi untuk Korban Tindak Pidana dalam RKUHAP

Redaksi
Ketua LPSK Achmadi (kiri) bersama dengan Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo (kanan), usai RDP dengan Komisi III DPR RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 17/6/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Ketua LPSK Achmadi (kiri) bersama dengan Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo (kanan), usai RDP dengan Komisi III DPR RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 17/6/2025 | Novia Suhari/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo menjelaskan pentingnya membedakan konsep restitusi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan sistem hukum restitusi yang telah lebih maju seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.

“Restitusi dalam konteks KUHAP itu mesti dibedakan dengan yang lain. Restitusi yang existing sekarang, itu sistem hukumnya sudah lebih maju. Itu yang ada di dalam Undang-Undang TPKS. Itu Undang-Undang nomor 12 tahun 2022,” katanya usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 17/6/2025.

Ia menambahkan bahwa LPSK mendorong agar konsep restitusi diperluas dalam revisi KUHAP, tidak hanya untuk korban kekerasan seksual, tetapi juga bagi korban tindak pidana lainnya.

“Restitusi yang juga ingin kita dorong di dalam RKUHAP, itu adalah juga restitusi untuk selain korban tindak pidana kekerasan seksual. Di luar tindak pidana kekerasan seksual kan banyak korban. Misalnya korban penganiayaan berat, korban TPPO, dan sebagainya,” jelasnya.

Antonius juga menguraikan skema restitusi yang diusulkan LPSK dalam RKUHAP. Menurutnya, jika restitusi tidak dibayar secara penuh, maka aset pelaku dapat disita dan dilelang. Apabila hasil lelang belum mencukupi, pelaku tetap harus dikenai hukuman subsider.

“Untuk restitusi kurang bayar, itu bisa dilakukan melalui penyitaan aset pelaku. Setelah aset pelaku disita, itu dilelang. Kalau sudah ada penyitaan dan dilelang masih kurang, maka itu kemudian pelaku tetap diusulkan dikenai subsidier pengganti restitusi,” ujarnya.

Selain itu, LPSK juga mengusulkan agar pelaku dikenai pencabutan hak-hak narapidana apabila tidak memenuhi kewajiban restitusi.

“Dan pelaku juga dikenakan pencabutan hak-hak narapidana. Jadi pengurangannya jangan diberikan sebelum restitusi dibayar. Itu yang tertuju kepada pelaku,” ucap Anton.

Sementara itu, untuk korban, mekanisme pencairan restitusi juga diatur berdasarkan jenis tindak pidana.

“Yang tertuju kepada korban, kalau restitusi itu nggak dibayar, maka untuk korban TPKS diambil dari dana bantuan korban. Untuk korban-korban di luar tindak pidana kekerasan seksual, itu dari dana abadi yang tadi diusulkan oleh LPSK masuk di dalam RKUHAP. Kira-kira seperti itu,” tambahnya.

Wakil Ketua LPSK lainnya, Susilaningtias, turut menyoroti pentingnya memberikan ruang bagi korban untuk mengajukan restitusi secara mandiri, sebagaimana telah diatur dalam UU TPKS.

“Jadi kalau di dalam Perma Nomor 1 tahun 2022, disebutkan bahwa, dimungkinkan korban itu bisa mengajukan sendiri tanpa melalui LPSK. Ini yang juga kita dorong di dalam perubahan RKUHAP ini,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari