Jumat, 18 Juli 2025
Menu

372 Guru Besar Kedokteran Serukan Evaluasi Menkes: Kebijakan Dinilai Tertutup dan Konfrontatif

Redaksi
Para Guru Besar Kedokteran Serukan Evaluasi Menkes di Universitas Indonesia (FKUI), Salemba, Jakarta Pusat, pada Kamis, 11/6/ 2025. | Muhammad Reza/ Forum Keadilan
Para Guru Besar Kedokteran Serukan Evaluasi Menkes di Universitas Indonesia (FKUI), Salemba, Jakarta Pusat, pada Kamis, 11/6/ 2025. | Muhammad Reza/ Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Sebanyak 372 guru besar kedokteran dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam atas arah kebijakan dan tata kelola sektor kesehatan nasional yang dinilai tidak inklusif dan cenderung konfrontatif.

Pernyataan sikap itu dibacakan secara bersama-sama dalam sebuah forum terbuka yang digelar di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Salemba, Jakarta Pusat, pada Kamis, 11/6/ 2025.

Para guru besar menyatakan bahwa suara mereka mewakili kegelisahan intelektual yang lahir dari hasil kontemplasi, kajian akademik, dan telaah kritis terhadap reformasi kesehatan yang dijalankan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan saat ini.

Pernyataan bersama ini merupakan tindak lanjut dari keprihatinan yang telah mereka sampaikan secara terbuka pada 20/5/2025 lalu.

Saat itu, para akademisi menyoroti kebijakan Kemenkes yang dinilai kurang partisipatif dan minim dialog dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk kalangan akademisi, organisasi profesi, dan kolegium kedokteran.

“Kami menyampaikan suara keprihatinan kami karena kami merupakan bagian integral perjuangan bangsa dalam menjaga kesehatan masyarakat. Suara ini bukan reaksi emosional, melainkan bentuk tanggung jawab etis berdasarkan kajian akademik terhadap narasi-narasi yang dibangun oleh Kementerian Kesehatan,” ujar salah satu guru besar dalam pembacaan pernyataan tersebut.

Dalam pernyataan yang dibacakan bersama itu, para guru besar menilai bahwa narasi yang dibangun Kemenkes dalam pelaksanaan reformasi kesehatan kerap kali menimbulkan dikotomi dan membelah kepercayaan publik.

Mereka juga menuding bahwa kementerian justru menggunakan kata-kata sebagai “senjata manipulatif” untuk menyerang pihak-pihak yang semestinya menjadi mitra kerja, bukan lawan.

“Alih-alih membangun partisipasi, reformasi kesehatan yang dijalankan saat ini justru dirasakan eksklusif, tertutup, dan menempatkan banyak pihak sebagai penghambat kemajuan,” tulis pernyataan itu.

Para guru besar juga menyoroti sikap Menteri Kesehatan dalam berbagai forum, termasuk saat bersaksi di Mahkamah Konstitusi, yang dinilai masih mempertahankan narasi konfrontatif dan tidak menunjukkan upaya kolaboratif.

Lebih jauh, para guru besar menyatakan bahwa mereka tidak lagi dapat menaruh kepercayaan kepada Menteri Kesehatan saat ini untuk memimpin reformasi sektor kesehatan nasional.

“Kami tidak melawan perubahan. Sebaliknya, kami mendukung reformasi yang berbasis data, dialog, dan penghormatan terhadap prinsip profesionalisme serta kedaulatan keilmuan. Namun kami menolak cara-cara yang melemahkan kepercayaan publik dan merendahkan martabat akademisi,” tegas mereka.

Sebagai bentuk penghargaan terhadap Presiden Prabowo Subianto yang menyebut guru besar sebagai “penyemai kebijaksanaan” dan “penjaga suara hati bangsa,” para akademisi berharap perhatian pemerintah pusat terhadap keprihatinan mereka bisa segera ditindaklanjuti secara konkret.

“Kami menyerukan panggilan perhatian dan tindak nyata dari pemerintah. Kami ingin reformasi kesehatan berjalan dengan inklusif, adil, dan berdasarkan kebijaksanaan kolektif bangsa. Namun kami tidak lagi percaya bahwa Menteri Kesehatan saat ini mampu mewujudkannya,” pungkas pernyataan itu.

Para guru besar menekankan bahwa sikap mereka tidak didasari kesombongan intelektual, melainkan panggilan nurani. Mereka menyerukan agar Prabowo dan pemerintah segera turun tangan agar arah reformasi kesehatan nasional tidak semakin menjauh dari nilai-nilai kolaborasi dan keadilan sosial.

Sebelumnya, para Guru besar FKUI menilai banyak kebijakan Kemenkes dan implementasi Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang justru melenceng dari semangat awal reformasi sistem kesehatan.

Dalam deklarasi bertajuk “Salemba Berseru” yang digelar pada Jumat 16/5/2025. para guru besar FKUI menyatakan kebijakan Kemenkes berpotensi menurunkan mutu pendidikan dokter dan berdampak langsung pada pelayanan kesehatan masyarakat.

Terkait dengan persoalan kebijakan Kemenkes yang melenceng dan munculnya “Framming” buruk terhadap dokter, Guru Besar FKUI pun menyampaikan lima sikap:

1. Menjamin pendidikan dokter tetap dalam sistem akademik yang bermutu dan terstandar.

2. Melibatkan institusi pendidikan kedokteran secara aktif dan bermakna dalam setiap perumusan kebijakan, dengan pendekatan yang transparan dan berbasis bukti.

3. Tidak mengorbankan keselamatan pasien dan masa depan layanan kesehatan demi pencapaian target politik jangka pendek atau kepentingan populisme sesaat.

4. Menghentikan framing buruk terhadap profesi dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia yang akan menyebabkan penurunan kepercayaan pada dokter atau tenaga kesehatan bangsa sendiri, dan ini dapat dimanfaatkan oleh pelayanan kesehatan negara lain.

5. Menegaskan pentingnya peran kolegium profesi kedokteran dan kedokteran spesialis sebagai lembaga independen yang berwenang dalam menjaga standar mutu pendidikan, kompetensi lulusan, serta sistem sertifikasi dan resertifikasi dokter dan dok spesialis agar tetap sejalan dengan kebutuhan pelayanan dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran secara global.*

Laporan oleh: Muhammad Reza