Jumat, 13 Juni 2025
Menu

Ahli Pidana UGM: Klaim Hasto soal ‘Perintah Partai’ Tetap Harus Dipertanggungjawabkan

Redaksi
Ahli Pidana dari UGM, M Fatahillah Akbar dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis, 5/6/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Ahli Pidana dari UGM, M Fatahillah Akbar dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis, 5/6/2025 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Ahli Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menyebut bahwa klaim Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto soal perintah partai dalam kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku tetap harus dipertanggungjawabkan.

Mulanya, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menggali pendapat ahli soal bagaimana pertanggungjawaban pidana diberlakukan apabila seorang pelaku mengklaim tindakannya sebagai bagian dari tugas organisasi, namun tidak disertai dengan surat perintah resmi.

Padahal, kata jaksa, perintah tersebut diberikan oleh salah satu pengurus organisasi dan tindakan yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan melawan hukum, dalam hal ini tindak pidana suap.

“Apakah pertanggungjawaban pidana bisa diarahkan kepada pengurus organisasi yang memberi perintah, meskipun tidak ada surat tugas resmi dari organisasi?” tanya jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis, 5/6/2025.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Akbar menegaskan bahwa keberadaan surat tugas bukanlah satu-satunya tolok ukur dalam melihat pertanggungjawaban pidana.

“Ketika suatu perintah bersifat melawan hukum, maka tetap tidak boleh dilakukan, baik ada surat tugas maupun tidak,” ujarnya.

Ia menambahkan, bila sebuah tindakan dianggap sebagai perintah organisasi namun bertentangan dengan hukum, maka tetap ada konsekuensi pidana.

“Tapi ketika pun dianggap sebagai perintah dari organisasi tapi perintah  tersebut bersifat melawan hukum maka tetap harus ada konsekuensi hukum di dalamnya,” tambahnya.

Lebih lanjut, Akbar menjelaskan bahwa dalam konteks hukum pidana, termasuk pertanggungjawaban korporasi, perlu ditelusuri apakah tindakan tersebut benar-benar dilakukan atas nama organisasi dan dalam lingkup kewenangannya, atau hanya merupakan inisiatif individu-individu tertentu tanpa sepengetahuan organisasi.

“Artinya, yang harus dilihat bukan sekadar ada atau tidaknya surat perintah, tapi apakah perbuatan itu melawan hukum atau tidak,” tanya JPU yang dibenarkan oleh ahli.

Sebelumnya, tim hukum Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai bahwa sejak awal, langkah yang diambil PDI Perjuangan adalah langkah konstitusional sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA). Tujuannya, kata dia, untuk memastikan suara caleg yang meninggal dunia dialihkan kepada partai secara sah.

“Jangan dicampur adukkan antara langkah hukum partai yang sah dan tindakan-tindakan individu yang menyimpang. Kita harus jernih melihat siapa yang melakukan apa dan siapa yang harus bertanggung jawab,” katanya.

Sebagai informasi, dalam kasus ini, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan atau obstruction of justice dan menyuap mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan Rp600 juta agar Harun Masiku bisa menjadi anggota DPR RI Pergantian Antar Waktu (PAW) 2019-2024.

Dalam dakwaan pertama, ia disebut melanggar Pasal 21 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Sedangkan pada dakwaan kedua ia dijerat melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi