Bambang Rukminto: Reposisi Peran Polri dalam Penyidikan Harus Jadi Perhatian dalam RUU KUHAP

FORUM KEADILAN – Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyoroti pentingnya memperjelas posisi Polri dalam proses penyidikan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Menurutnya, reposisi atau penataan ulang peran Polri sangat krusial karena menyangkut perlindungan hak-hak warga negara.
“Reposisi Polri sangat penting sekali dalam RUU KUHAP, karena ini menyangkut hak-hak warga negara. Bagaimana posisi kepolisian selama ini masih tarik ulur dengan Kejaksaan,” kata Bambang dalam diskusi publik bertajuk ‘RUU KUHAP dan Repositioning Penyidikan Polri’ di kawasan Jakarta Selatan, Jumat, 30/5/2025.
Ia menekankan bahwa selama ini, masyarakat masih menggantungkan harapan besar pada kepolisian sebagai lembaga yang diberi kewenangan besar oleh negara dalam memberikan perlindungan dan pelayanan hukum. Namun di sisi lain, kata dia, pelaksanaan fungsi tersebut masih banyak menuai keluhan.
“Banyak ruang kosong yang kemudian digunakan oleh oknum. Sering kali disebut ‘oknum’, padahal jumlahnya sangat banyak. Jadi aneh kalau masih disebut oknum,” ujarnya.
Bambang juga mengkritisi wacana pengalihan kewenangan penyidikan dari kepolisian ke Kejaksaan. Ia khawatir hal tersebut justru menimbulkan permasalahan baru karena banyak aspek dalam proses penyidikan yang seharusnya tetap menjadi domain Polri.
“Kalau kemudian ditarik balik ke Kejaksaan, apakah ini tidak akan meletakkan permasalahan baru lagi? Maka, posisi penyidikan itu memang harus ada di kepolisian,” tegasnya.
Meski demikian, Bambang menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan proses penyidikan itu sendiri.
Ia menyoroti bahwa penyelidikan yang seharusnya menjadi tahap awal, kini justru sering diperlakukan seolah-olah sebagai dasar utama dalam menetapkan suatu perkara.
“Selama ini yang terjadi, banyak hal dalam proses penyidikan yang memunculkan problem. Penyidikan dimulai dari sebuah penyelidikan, tapi seolah-olah penyelidikan itu sudah menjadi hal yang utama,” jelasnya.
Ia mencontohkan kasus ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang dihentikan Bareskrim Polri saat masih dalam tahap penyelidikan.
“Maka ketika kemarin selalu muncul terkait dengan pemberhentian penyelidikan di kasus ijazah palsu itu menjadi aneh. Baru penyelidikan kok sudah dihentikan,” sindirnya.
Menurutnya, yang diatur dalam KUHAP hanyalah penghentian penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sementara penghentian penyelidikan pada kasus tersebut hanya merujuk pada Surat Edaran Kapolri Nomor 7 Tahun 2018 yang ditandatangani oleh Jenderal (Purn) Tito Karnavian.
“Ini menjadi problem. Idealnya, mekanisme itu dimaksudkan untuk mengurangi penumpukan kasus. Tapi justru bisa menimbulkan masalah baru,” tambahnya.
Bambang menyebut, penghentian penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik dinilai berpotensi membuka celah bagi kasus-kasus tertentu untuk tidak tersentuh oleh proses hukum.
Hal ini dinilai dapat mengabaikan hak-hak warga yang tengah berhadapan dengan hukum.
“Kalau seperti ini terus berlanjut, ini akan menjadi persoalan ke depan. Banyak kasus yang tidak selesai dan justru menjadi pekerjaan rumah (PR) yang menumpuk,” tutupnya.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi