MK Soroti Kekeliruan Uji Formil-Materiil oleh Koalisi Sipil soal UU TNI

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti kekeliruan koalisi masyarakat sipil dalam membedakan antara uji formil dan uji materiil dalam permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hakim Konstitusi mengingatkan agar pemohon lebih cermat dalam menyusun permohonan agar tidak kabur atau bersifat obscuur libel.
Dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025, Guntur Hamzah menilai permohonan para pemohon telah mencampuradukkan antara pengujian formil dan materiil. Adapun perkara tersebut dimohonkan oleh Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan KontraS, serta tiga pemohon individu, yakni Inayah Wahid, Fatiah Maulidiyanty, dan Eva Nurcahyani.
“Saya melihat, dalam posita saudara itu mencampuradukan uji formil dan uji materil. Padahal anda membatasi ini adalah permohonan uji formil,” katanya dalam persidangan, Rabu, 14/5/2025.
Sebagai contoh, kata dia, dalam halaman 44 permohonan disebutkan bahwa pemohon mempersoalkan penambahan substansi dalam revisi UU TNI terkait usia pensiun prajurit. Menurut Guntur, isu tersebut termasuk ranah uji materiil, bukan formil.
Ia lantas menanyakan kepada para pemohon mengapa substansi dalam UU TNI turut dipersoalkan dalam gugatan uji formil di MK. Ia menyebut bahwa jika pemohon ingin mempersoalkan substansi tersebut, seharusnya dilakukan uji materiil.
“Kalau itu Anda persoalkan, itu sudah masuk ke substansi. Artinya, Anda sendiri yang masuk ke uji materiil, padahal ini Anda nyatakan sebagai permohonan uji formil,” jelas Guntur.
Dirinya mengingatkan bahwa ketidaktepatan dalam menyusun permohonan, terutama dalam membedakan dasar hukum dan substansi yang diuji, dapat menyebabkan permohonan ditolak karena dinilai tidak jelas.
Di sisi lain, Guntur juga mengkritisi petitum provisi dalam permohonan mereka yang menyebut ‘tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-unsang menurut UUD 1945’. Ia mengatakan bahwa hal ini justru memberikan kesan pemohon menguji UU TNI terhadap UU Nomor 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), bukan terhadap konstitusi.
“Coba dijelaskan. Apakah pemohon sedang menguji UU (TNI) terhadap UU (P3) atau terhadap UUD? Karena kalimat itu bisa membingungkan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa pengujian formil mestinya merujuk pada Pasal 22A UUD 1945 yang mengatur tata cara pembentukan undang-undang. Jika memasukkan pasal-pasal lain seperti Pasal 28A yang berkaitan dengan hak konstitusional warga negara, maka hal tersebut sudah masuk ke wilayah uji materiil.
Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK tersebut lantas memberikan nasihat kepada pemohon untuk menggantinya dengan ‘tidak memenuhi ketentuan Pasal 22A UUD 1945 yang menyangkut tata cara pembentukan peraturan Undang-Undang yang diatur dalam UU’.
Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh juga menyoroti provisi pemohon yang meminta agar Mahkamah mengabulkan provisi mereka dalam putusan sela. Ia meminta kepada kuasa hukum dan para pemohon agar memberikan alasan yang lebih kuat agar MK mengabulkan hal tersebut.
“Misalnya, apakah dalam proses pembentukan itu karena tidak memenuhi prosedur pembentukan UU atau ada dampak yang mungkin terjadi kalau ini segera diberlakukan,” katanya.
Sebagai informasi, dalam permohonan Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, mereka meminta agar MK mengabulkan provisi mereka yaitu dengan menunda pemberlakuan UU TNI sampai ada putusan MK. Selain itu, melarang presiden untuk menerbitkan peraturan pelaksana; melarang pembentuk UU dan kementerian/lembaga terkait untuk mengeluarkan kebijakan strategis sampai ada putusan MK.
Sedangkan dalam petitumnya, pemohon meminta agar MK menyatakan UU TNI tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, mereka meminta agar mengembalikan ketentuan UU TNI lama.*
Laporan Syahrul Baihaqi