FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menyidangkan 11 permohonan perkara yang menguji baik formil dan materiil Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sejumlah pengamat hukum juga mendukung langkah tersebut dan menilai bahwa pembentukan peraturan tersebut bermasalah, pun, mereka menaruh harapan agar Mahkamah mengabulkan gugatan tersebut.
Dari 11 permohonan perkara yang akan disidangkan pada Jumat, 9/5/2025, sembilan perkara di antaranya menguji formil, satu perkara menguji materiil dan satu perkara menguji keduanya. Mereka menilai, proses pembentukan UU tersebut melanggar prinsip keterbukaan dan partisipasi bermakna sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, mereka juga mempersoalkan salah satu pasal dalam UU TNI yang dianggap akan mengembalikan militer serupa masa Orde Baru. Pasal yang dimaksud ialah Pasal 47 yang mengatur ketentuan penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil di luar bidang pertahanan negara agar dikembalikan seperti ketentuan UU TNI sebelumnya.
Misalnya, pada Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R. Yuniar A. Alpandi menguji formil UU TNI baru. Sejumlah mahasiswa itu menilai bahwa UU TNI bertentangan dengan asas keterbukaan sebagaimana tercantum pada Pasal 5 UU P3.
Mereka menilai bahwa DPR telah gagal sebagai lembaga yang diamanatkan untuk menyebarluaskan akses data terhadap naskah akademik sebagaimana tertuang dalam UU P3. Fakta ini, kata mereka, didukung oleh pernyataan dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang menyampaikan bahwa draf RUU TNI yang tersebar luas di masyarakat bukanlah draf yang dibahas oleh Komisi I.
Sementara pada Perkara Nomor 57/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Bilqis Aldila Firdausi, Farhan Azmy Rahmadsyah, dan Lintang Raditya Tio Richwanto menguji formil dan materiil UU TNI yang baru. Dalam permohonannya, mereka menilai bahwa rancangan UU TNI sebagai RUU prioritas dalam prolegnas 2025 tidak sesuai ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, salah satunya tidak memenuhi prinsip meaningful participation. Dalam uji materilnya, mereka beranggapan bahwa UU TNI cenderung menganut militerisasi sehingga mencederai prinsip demokrasi dan melemahkan supremasi sipil dalam negara hukum.
Sedangkan pada perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Prabu Sutisna, Haerul Kusuma, Noverianus Samosir, Christian Adrianus Sihite, Fachri Rasyidin, dan Chandra Jakaria yang menguji materiil UU TNI. Mereka meminta MK menyatakan Pasal 47 ayat 2 UU TNI inkonstitusional bersyarat, jika tidak dimaknai bahwa prajurit hanya boleh menduduki jabatan sipil setelah mundur atau pensiun dari dinas aktif.
Di samping 11 perkara tersebut, masih ada beberapa gugatan lain terhadap UU TNI yang belum teregister dan disidangkan, salah satunya ialah yang diajukan oleh masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Reformasi Sektor Keamanan pada Rabu, 7/5.
Pada intinya, para pejuang Konstitusi tersebut meminta agar Mahkamah menyatakan UU TNI yang baru berlaku dinyatakan inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Jika sebelumnya masyarakat menabuh genderang perang melalui aksi turun ke jalan, kini mereka mengalihkan perlawanan ke ranah hukum dengan menggugat UU TNI ke Mahkamah. MK pun menjadi medan baru dalam perjuangan mempertahankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Akankah Mahkamah berpihak pada kehendak rakyat?
Tak Libatkan Publik, DPR Tak Berubah
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai revisi UU TNI bermasalah dari sisi proses. Ia menyebut, pembentuk undang-undang mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation), yang seharusnya menjadi standar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan pasca putusan MK terkait UU Cipta Kerja.
“Artinya dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang, masyarakat harus dilibatkan. Tidak hanya diberi ruang untuk menyampaikan masukan, tapi juga agar masukannya dipertimbangkan dan diberi jawaban,” kata Yance saat dihubungi Forum Keadilan, Kamis, 8/5.
Setelah putusan MK soal UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR telah merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011 melalui UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Perubahan itu antara lain memperkuat prinsip partisipasi bermakna sebagaimana tertuang dalam Pasal 96. Namun, menurutnya, praktiknya justru makin menyimpang.
“Tapi kalau kita lihat praktiknya tidak ada perubahan bahkan pembentukan undang-undang semakin seenak hati DPR tanpa mengindahkan partisipasi publik dalam setiap tahapan terutama pada tahapan pembahasan,” tegasnya.
Ia menggarisbawahi bahwa pembahasan RUU TNI yang telah disahkan menjadi undang-undang dilakukan secara diam-diam dan berakibat pada reaksi publik.
Yance menyinggung soal adanya demo besar-besaran penolakan revisi UU TNI di beberapa kota di Indonesia di mana mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan menyuarakan penolakan.
Dirinya juga menambahkan bahwa pembentukan undang-undang tak mengalami perubahan dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya.
Padahal, kata dia, DPR yang sekarang periode baru harusnya bisa mendatangkan suatu spirit baru, yakni dengan perbaikan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Tapi kita tidak melihat itu dilakukan,” ucapnya menyayangkan.
Di sisi lain, dirinya juga menyoroti bahwa DPR tidak menjalankan amanat UU untuk memperbarui regulasi internalnya, yakni tata tertib (tatib), agar lebih mengakomodasi partisipasi publik.
“Tatib DPR memang diubah, tapi bukan untuk membuka keran partisipasi, melainkan untuk memberi kewenangan evaluasi terhadap pejabat yang dipilih DPR,” katanya.
Ia menekankan pentingnya uji formil ini sebagai momentum bagi MK untuk kembali menegaskan prinsip partisipasi bermakna dalam legislasi.
“Judicial review (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi dalam bentuk pengujian formil menjadi sesuatu ekspresi dari kegundahaan publik tentang buruknya proses legislasi di Indonesia,” ucapnya.
Menaruh Asa Pada MK
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah, menilai banyaknya gugatan terhadap UU ini mencerminkan keresahan dan trauma kolektif masyarakat terhadap potensi kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil.
“Banyaknya judicial review terkait UU TNI ini menggambarkan kekhawatiran kolektif, keresahan kolektif, bahkan trauma kolektif banyak orang terhadap TNI,” kata Herdiansyah saat dihubungi Forum Keadilan.
Ia menyoroti bahwa revisi UU TNI membuka ruang yang berbahaya, tak hanya bagi demokrasi, tetapi juga bagi semua aspek kehidupan masyarakat. Saat ini, kata dia, militer mulai terlibat dalam berbagai urusan sipil yang semestinya bukan domain mereka, di antaranya melalui makan bergizi gratis dan program food estate.
Herdiansyah menyebut bahwa keterlibatan TNI dalam berbagai ranah sipil mengonfirmasi kekhawatiran publik bahwa militer kembali memasuki ruang-ruang yang seharusnya diisi aktor sipil.
“UU TNI membuka ruang keterlibatan TNI yang lebih jauh dalam urusan sipil dan politik, padahal itu bukan tugas utama TNI,” tegasnya.
Ia berharap, MK mengabulkan permohonan uji formil ini. MK, menurutnya, harus mengevaluasi apakah perluasan kewenangan TNI yang diatur dalam undang-undang tersebut memiliki dasar konstitusional.
“Kalau fungsi-fungsi tambahan TNI dalam revisi UU itu tak relevan dan bertentangan dengan konstitusi, maka MK harus membatalkannya,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta M. Fadhil Alfathan menegaskan bahwa banyaknya permohonan uji formil terhadap revisi UU TNI di MK menunjukkan masih masifnya penolakan masyarakat terhadap aturan tersebut.
“Kondisi ini menggambarkan masih kuatnya penolakan publik, mirip dengan gelombang penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang dulu juga ramai-ramai diuji karena dinilai merugikan,” kata Fadhil saat dihubungi wartawan.
Menurutnya, MK seharusnya bersikap konsisten dengan putusannya sendiri dalam perkara uji formil UU Cipta Kerja. Kala itu, MK menyatakan pembentukan UU tersebut cacat formil karena tidak memenuhi prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
“Konsistensi itu yang kami nilai paling rasional bagi MK dalam memandang permohonan-permohonan yang saat ini masuk terkait revisi UU TNI,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa proses pengujian baru memasuki tahap formil, namun tidak menutup kemungkinan akan banyak gugatan uji materiil menyusul. Sebagai bentuk antisipasi jika uji formil gagal dikabulkan, Fadhil menyebut pihaknya juga tengah mempersiapkan permohonan uji materiil.
“Kami juga sedang bersiap untuk mengajukan uji materiil jika diperlukan,” tegasnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi