Keluarga Ungkap Korban Ledakan Amunisi di Garut Diupah Rp150 ribu

Warga Cibalong, Agus setiawan yang merupakan kakak kandung korban Rustiawan menjelaskan bahwa para korban bekerja di lokasi peledakan dan diberi upah oleh TNI sebesar Rp150 ribu per hari.
Agus mengatakan bahwa mereka mendapatkan bayaran tersebut sebagai imbalan membuka peluru ataupun selongsong amunisi yang akan dimusnahkan.
“(Buka) Peluru kecil, buka selongsong. Diupah per hari Rp150 ribu,” kata Agus.
Agus juga membantah isu yang mengatakan bahwa warga sengaja memulung besi amunisi untuk kemudian dijual di lokasi pemusnahan amunisi TNI.
Ia menjelaskan para korban bersama warga yang lain baru bekerja ketika diminta saat barang-barang yang akan dimusnahkan telah datang di lokasi.
“(Kerjanya) Paling 12 hari beres. Jadi bukan mulung, kami tidak berburu besi bekas dan selongsong. Kami bekerja, kuli,” lanjutnya.
Di sisi lain, video viral pemootor yang mendekat ke lokasi ledakan, Agus pun membenarkan momen yang terjadi pada hari yang sama saat kejadian.
Namun, Agus menekankan bahwa hal itu terjadi pada saat ledakan awal bukan ketika insiden meledaknya detonator yang menyebabkan 13 korban jiwa.
Agus mengatakan momen tersebut terjadi usai TNI melakukan peledakan amunisi tidak layak pakai dan menyebut para pemotor yang ada dalam video hendak bekerja untuk menari besi dan sisa-sisa amunisi yang terbakar.
Usai para warga mengambil sisa-sisa amunisi, pihak TNI kemudian kembali melakukan peledakan, dengan maksud memusnahkan detonator yang sebelumnya digunakan untuk meledakkan amunisi.
“Yang mungut rombongan kita-kita juga, tapi beda peristiwa. Sebelum kejadian itu,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, , ledakan terjadi saat proses pemusnahan amunisi bekas latihan militer di Garut, Jawa Barat. Peristiwa ini terjadi tepatnya di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Garut, pada Senin, 12/5 pagi.
Pada saat selesai pemusnahan dilakukan, sejumlah warga mengambil sisa-sisa amunisi yang sayangnya, beberapa di antaranya ternyata masih aktif dan membuat ledakan susulan terjadi. Akibatnya, belasan orang meninggal dunia.
Kasi SIMRS dan Rekam Medis RSUD Pameungpeuk Yani Sriyani Dahyani mengungkapkan bahwa 13 orang meninggal tersebut di antaranya empat korban merupakan anggota TNI AD dan sembilan lainnya warga sipil.*