Gugatan Aturan PAW Libatkan Masyarakat Kandas di MK

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa gugatan soal ketentuan pergantian antar waktu (PAW) anggota MPR, DPR dan DPRD yang dimiliki partai politik harus melibatkan masyarakat tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah menilai bahwa PAW merupakan hal konstitusional demi menegakkan otoritas dan integritas partai politik.
Hal itu tertuang dalam putusan MK Nomor 22/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Edward Thomas Lamury Hadjon selaku Dosen Hukum Tata Negara dan Zidane Azharian Kemalpasha. Selain menguji ketentuan PAW, mereka juga menggugat soal batas masa jabatan pimpinan partai politik hanya lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu periode. Namun, MK menyebut para pemohon tidak memiliki legal standing karena tidak memiliki keterkaitan langsung dengan partai politik.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebut bahwa Mahkamah tidak mengubah pendiriannya pada dua putusan sebelumnya yaitu pada Putusan MK Nomor 008/PUU-IV/2006 dan Nomor 38/PUU-VIII/2010 soal PAW anggota legislatif.
“Pada pokoknya Mahkamah berpendirian bahwa PAW, baik yang diusulkan oleh partai politik maupun yang disebabkan karena anggota DPR diberhentikan sebagai anggota partai politik, adalah konstitusional demi menegakkan otoritas dan integritas partai politik,” kata Enny di ruang sidang, Rabu, 14/5/2025.
Oleh karena itu, kata dia, parpol tetap memiliki peran penting dan strategis sebagai pilar demokrasi dalam demokrasi perwakilan di Indonesia melalui pemilihan umum, di mana dalam sistem demokrasi modern, sistem perwakilan pada umumnya direpresentasikan oleh partai politik.
Apalagi, hal ini juga sejalan dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 di mana parpol akan mengajukan kader terbaiknya untuk mengusung visi misi partainya. Selain itu, kata Enny, hanya caleg yang terdaftar dalam daftar calon tetap yang dapat dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dengan begitu, Mahkamah berpandangan bahwa tidak terdapat persoalan konstitusionalitas pada norma Pasal 239 ayat 2 huruf d dan huruf g UU 17/2014.
“Adanya mekanisme PAW ini merupakan bagian dari upaya menjaga keseimbangan hubungan partai politik, calon legislatif, dan konstituen yang memilihnya,” tambahnya.
Terkait dengan dalil soal perlunya keterlibatan rakyat dalam mekanisme PAW di mana pemohon meminta Mahkamah agar terdapat aturan pemilihan kembali di dapil yang anggota DPR terpilihnya diusulkan berhenti oleh partai politik, MK berpandangan hal tersebut tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan dan tidak mungkin dapat diwujudkan.
“Jika para Pemohon menghendaki semua pemilih dalam DPT di dapil tersebut diberi hak untuk menyatakan pendapat (ya/tidak), hal demikian sama saja dengan melakukan pemilihan umum ulang di dapil yang bersangkutan,” kata Enny.
Apalagi, kata dia, sistem pemilu anggota legislatif yang dipakai adalah sistem proporsional terbuka yang memadukan antara keberadaan partai politik dengan keberadaan calon anggota legislatif. Sehingga, model ‘plebesit’ yang dimohonkan oleh para Pemohon dapat dimaknai bahwa pemilu dapat diselenggarakan secara berkala sekali dalam lima tahun.
“Dengan dibukanya kemungkinan untuk dilakukan ‘plebisit’, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip one man one vote karena tidak bisa dipastikan siapa pemilih yang memilih anggota DPR yang di-PAW,” kata Enny.*
Laporan Syahrul Baihaqi