FORUM KEADILAN – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) harus dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice. Hal ini disampaikannya saat membahas Pasal 77 dalam draf KUHP.
“Pagi tadi saya ingatkan teman-teman untuk menjelaskan soal Pasal 77 di draf KUHP. Di sana tercantum bahwa pasal penghinaan presiden adalah pasal yang dikecualikan dari penyelesaian dengan restorative justice. Nah, kami semua anggota Komisi III lewat para kapoksinya sudah sepakat bahwa itu tidak benar,” kata Habiburokhman di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin, 24/3/2025.
Menurutnya, pasal penghinaan presiden merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan ujaran, yang sifatnya bisa multiinterpretatif. Oleh karena itu, mekanisme penyelesaiannya harus melalui dialog dan mediasi terlebih dahulu, bukan langsung diproses hukum.
“Pasal penghinaan presiden adalah varian dari pasal yang mengatur tindak pidana dengan cara ujaran. Kalau ujaran ini disampaikan secara spontan dan lisan, pasti ada banyak interpretasi. Bahayanya, kalau langsung dianggap pelanggaran hukum, bisa digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang karena perbedaan kepentingan atau posisi politik,” jelasnya.
Untuk itu, Komisi III DPR sepakat mengubah rumusan Pasal 77 agar tidak ada pengecualian terhadap pasal penghinaan presiden dalam penerapan restorative justice.
“Saya sangat paham bahwa pasal tersebut harusnya bisa diselesaikan dengan dialog dahulu, dengan mediasi dahulu, dengan restorative justice. Sehingga tidak mudah orang dipidana atau dikriminalisasi hanya karena perbedaan politik,” tegasnya.
Dengan perubahan ini, ia berharap tidak ada lagi penyalahgunaan hukum terhadap kritik atau perbedaan pendapat yang ditujukan kepada presiden.*
Laporan Muhammad Reza