FORUM KEADILAN – Komisi Anti-Kekerasan Seksual Nusa Tenggara Barat (NTB), Andre Saputra, mengungkapkan pemuda disabilitas tersangka pelecehan seksual, Agus (21) merupakan sosok yang produktif.
Sejak pertama kali kasus pelecehan seksual yang melibatkan Agus mencuat pada Oktober 2024, kini, fakta-fakta baru terus bermunculan. Jumlah korban yang melaporkan peristiwa ini terus meningkat. Hingga kini tercatat 13 korban, dimana tiga di antaranya adalah anak di bawah umur.
Kasus ini semakin menjadi sorotan karena Agus yang memiliki disabilitas tanpa kedua tangan, awalnya mengungkapkan bahwa dirinya telah difitnah oleh para korban.
Meski sudah banyak korban yang melapor, menurut Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Joko Jumadi, proses penyelidikan masih terus berlanjut. Korban juga telah diperiksa oleh pihak kepolisian dan laporan juga sudah diserahkan kepada Lembaga Perlindungan Anak (LPA) untuk penanganan lebih lanjut.
Hingga saat ini, pihak kepolisian juga terus mengembangkan kasus ini untuk mengungkap lebih banyak korban yang mungkin belum melapor.
Fakta baru yang bermunculan semakin memperburuk citra Agus sebagai tersangka. Pasalnya, penyelidikan mengungkapkan bahwa Agus sudah berulang kali melakukan kekerasan seksual di tempat-tempat umum seperti Homestay di Mataram, setelah keduanya bertemu di Taman Udayana Kota Mataram.
Menurut pengakuan korban, meski tidak memiliki kedua tangan, diketahui Agus bisa membuka pintu kamar Homestay menggunakan gigi dan mulutnya.
Fakta mengejutkan juga diungkapkan oleh pemilik Homestay tersebut. Ia mengungkapkan bahwa Agus seringkali datang ke tempatnya dengan korban yang berbeda setiap kali datang. Bahkan, beberapa korban yang keluar dari kamar diketahui dalam kondisi yang panik, menangis atau lari terburu-buru.
Menurut psikolog yang menangani kasus ini, Agus memiliki kemampuan manipulasi emosional yang baik. Agus menggunakan trik-trik psikologi untuk membuat korban merasa nyaman sebelum melakukan tindakannya.
Dengan memanfaatkan kondisi dirinya sebagai penyandang disabilitas, ia mampu menciptakan kedekatan emosional dengan korban dan membuat mereka merasa terjebak dalam hubungan yang tidak seimbang.*
Laporan Pangesti Handayani