Wakil Ketua KPK Alexander Marwata Gugat Larangan Bertemu Pihak Berperkara ke MK

Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mempersoalkan ketentuan norma soal larangan pimpinan KPK untuk bertemu dengan pihak berperkara dalam tindak pidana korupsi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, Hakim Konstitusi menyebut bahwa KPK merupakan lembaga luar biasa, sehingga setiap persyaratan harus lah diperketat.

Dalam Perkara Nomor 158/PUU-XXII/2024, Alexander Marwata dan dua staf KPK menguji konstitusionalitas norma Pasal 36 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Bacaan Lainnya

Adapun Pasal tersebut memuat ketentuan soal larangan pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi (tipikor) yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.

Menurut para Pemohon, norma yang diuji tidak jelas dan tidak berkepastian hukum. Pasal tersebut telah menyebabkan peristiwa bertemunya Alexander Marwata dengan seseorang yang sengaja menyampaikan laporan dugaan tipikor dan diterima secara resmi di kantor dengan disertai staf yang membidanginya.

Pertemuan yang dimaksud ialah pertemuan Alex dengan Mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto yang mengakibatkan dirinya dilaporkan ke Polda Metro Jaya.

“Dengan demikian, sangat jelas para Pemohon yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK maupun pegawai KPK lainnya terugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya sesuai perintah Undang-Undang sebagai Pimpinan KPK yang bebas dari rasa cemas dan was-was jika suatu saat karena kepatuhan dan ketaatan menjalankan tugas tanggung jawab yang berinteraksi, berhubungan dengan masyarakat dapat saja dipidana,” ujar kuasa hukum Pemohon, Abdul Hakim, Rabu, 13/11/2024.

Selain itu, Pemohon juga menilai terdapat perlakuan diskriminatif antara Pimpinan dan Pegawai KPK dengan pejabat lembaga hukum lainnya, seperti Kejaksaan maupun Kepolisian yang dilindungi oleh hukum dalam menjalankan jabatannya ketika menerima kunjungan masyarakat.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK agar menyatakan Pasal 36 huruf a UU KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Lembaga Luar Biasa

Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan bahwa pemohon harus mengetahui struktur kedudukan KPK dan alasan adanya larangan terhadap pimpinan serta staf untuk bertemu pihak berperkara karena KPK merupakan lembaga extraordinary function.

“Lembaga extraordinary function itu diberi persyaratan yang sangat ketat, sampai sebegitu ketatnya. Sedangkan untuk lembaga penegak hukum yang lain tidak seperti itu,” kata Arief.

Arief juga mengatakan bahwa lembaga Anti-Rasuah memiliki sifat yang sama seperti MK sebagai noble profession atau profesi mulia, sehingga segala persyaratan harus diperketat. Selain itu, kata dia, baik Komisioner KPK dan Hakim Konstitusi merupakan silencer profession (profesi diam).

“Artinya Komisioner KPK dan Hakim Konstitusi harus bisa hidup di tempat yang sunyi. Enggak boleh berhubungan dengan siapa pun,” lanjutnya.

Arief mencontohkan salah satu warisan kebiasaan dari para hakim-hakim MK terdahulu yang menghindari menggunakan pesawat kelas bisnis saat di musim Pemilu. Hal itu, kata Arief, untuk menghindari potensi bertemu dengan ‘bos-bos’ partai politik ataupun calon kepala daerah yang tengah bersaing.

“Itu yang namanya disebut silencer profession. Mau tidak mau kalau menjabat ya harus ada persyaratan ketat. Manusia itu memang tidak apa-apa, tapi bisa menimbulkan suakwa sangka. Intinya harus menghindari itu,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua MK Suhartoyo juga sependapat dengan pernyataan Arief yang menyebut bahwa latar belakang pembentukan KPK untuk memenuhi kebutuhan di mana lembaga penegak hukum lain dipandang belum bisa efektif dan optimal. Maka dari itu, kata dia, KPK diberi kewenangan yang lebih ekstra.

Suhartoyo pun lantas mempertanyakan di mana letak diskriminasi perlakuan penegak hukum KPK dengan lembaga penegak hukum lain yang masih bisa bertemu dengan calon tersangka atau tersangka.

“Ya, memang KPK ini diposisikan berbeda, diberi kewenangan yang ekstra lebih power, tapi syaratnya supaya power itu bisa menghasilkan sebuah efektivitas optimalisasi, ya harus strict (ketat),” katanya.

Menurut Suhartoyo, hal tersebut merupakan sebuah risiko kelembagaan yang memiliki kewenangan luar biasa dalam memberantas korupsi di Indonesia. Apalagi, kata dia, KPK memiliki kewenangan untuk menyita, menggeledah tanpa izin pengadilan, menyadap, dan mengeluarkan SP3.

“Ini kan kewenangan-kewenangan KPK yang tidak dimiliki lembaga hukum yang lain. Nah, oleh karena itu, komisionernya, dan aparat di KPK, juga harus ketat. Karena kalau tidak ketat, nanti tidak bisa mendukung kewenangan-kewenangan yang sudah diberikan secara extraordinary itu,” katanya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait