Pendidikan Dasar Tanpa Biaya Bak Buah Simalakama

Ilustrasi Siswa Sekolah Dasar | ist
Ilustrasi Siswa Sekolah Dasar | ist

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil atas Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Hakim Konstitusi mengibaratkan pendidikan dasar tanpa dipungut biaya seperti buah simalakama, di satu sisi merupakan perintah konstitusi, namun di sisi lain dapat menjadi beban pada anggaran negara.

Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama dengan tiga Pemohon perorangan, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Agenda sidang hari ini, Selasa, 23/7/2024 dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi 7 hakim konstitusi lainnya, yang beragendakan mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemerintah.

Bacaan Lainnya

Mereka menguji Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Pasal tersebut menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.

Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam sesi tanya jawab awalnya mempertanyakan terkait besaran persenan penggajian dan tunjangan kinerja terhadap guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang telah ditentukan dalam dana alokasi umum (DAU). Ia lantas mengatakan bahwa MK tidak mungkin mengabulkan permohonan apabila negara tidak bisa menjalankan putusan MK.

“Karena kalau permohonan ini dikabulkan tentu Mahkamah, saya dibisiki Prof Arief Hidayat, MK tidak mungkin mengabulkan permohonan yang kemudian negara tidak bisa menjalankannya, untuk apa juga kan begitu,” kata Arsul.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra yang meminta kepada saksi dan ahli yang dihadirkan pemerintah untuk menggambarkan skema anggaran pendidikan apabila pendidikan dasar dibebaskan biaya di sekolah negeri ataupun swasta.

“Kami tidak tega menolak permohonan para Pemohon karena memang dalam Konstitusi sudah jelas angkanya (20 persen). Namun kalau dikabulkan, tapi tidak jelas angka-angkanya jadi masalah juga. Ini seperti buah simalakama betul,” ucap Saldi.

Saldi menilai bahwa sejak awal kemerdekaan Indonesia sampai hari ini, tidak ada rezim pemerintahan yang memiliki visi dan memberi perhatian lebih kepada pendidikan. Untuk itu, ia menyimpulkan negara seolah mulai melepas tanggung jawab terhadap persoalan pendidikan.

Saldi mencontohkan salah satu kasus Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang bisa mencapai angka Rp50 juta per semester dan juga uang pengembangan institusi yang nilainya bisa sampai ratusan juta rupiah. Ia lantas mempertanyakan apakah masyarakat miskin dapat mendapatkan akses pendidikan yang layak apabila biaya pendidikan sangat tinggi.

“Jadi, ini memang permohonan untuk pendidikan tingkat dasar, tapi ini cara kita memulai merefleksi ada yang salah enggak bagi kita untuk mengelola pendidikan ini,” kata Saldi.

Pasalnya, kata Saldi, dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 telah ditetapkan bahwa anggaran minimum untuk pendidikan sebesar 20 persen dengan memprioritaskan pada pendidikan dasar 9 tahun (SD-SMP). Namun, Saldi menguraikan fakta bahwa di beberapa kasus di mana buku, pakaian anak dan kebutuhan sekolah dibebankan kepada peserta didik. Ia menilai telah terjadi kemunduran dalam pendidikan Indonesia.

“Mungkin idealnya gratis bagi yang dimohonkan Pemohon akan sulit diwujudkan, tapi paling yang harus dipikirkan sekarang mana komponen-komponen tertentu dari pendidikan itu tidak lagi menjadi tanggung jawab peserta didik,” tegasnya.

Kemdikbud Hanya Kelola 15 Persen Anggaran Pendidikan

Kepala Biro Perencanaan Kemendikbud Ristek Vivi Andriani selaku saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah memaparkan bahwa perkiraan perhitungan pendanaan apabila pendidikan dasar tanpa dipungut biaya yang mencakup sekolah negeri dan swasta menyentuh angka Rp655,2 triliun.

Hal ini mencakup biaya personalia dan operasional yang mencapai angka Rp 354 triliun dengan rincian biaya personalia sebesar Rp. 261 triliun dan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang diperkirakan sebesar Rp92.8 triliun.

Selain itu,Vivi memperkirakan biaya sarana dan prasarana untuk kebutuhan rehabilitasi, peralatan, laboratorium, perpustakaan dan juga penambahan sekolah dan ruang kelas baru yang mencapai angka Rp301,2 triliun.

Dari kebutuhan ideal anggaran pendidikan dasar gratis sebesar Rp655,2 triliun, ia mengklaim bahwa terdapat kekurangan anggaran untuk menggratiskan SD dan SMP, baik negeri dan swasta sekitar Rp418 triliun.

“Sedangkan anggaran pendidikan jenjang SD dan SMP tahun 2024 sebesar Rp236,1 triliun. Pemerintah berkomitmen untuk menjaga pemenuhan anggaran sebesar 20 persen dari APBN sesuai amanat UUD,” katanya saat memberikan kesaksian dalam persidangan.

Selain itu, Vivi menyebut bahwa kementeriannya hanya mengelola anggaran pendidikan sebesar 15 persen atau setara dengan Rp98,9 triliun dari anggaran pendidikan tahun 2024 yang berjumlah sebesar Rp665 triliun dengan rincian Anggaran pendidikan pada belanja Kementerian Negara/Lembaga: Rp47.3 triliun (7%) dan Kementerian/Lembaga lainnya: Rp32 triliun (5%).

Selain itu, anggaran pendidikan untuk Kementerian Agama sebesar Rp62 triliun (9%), Kemendikbud Ristek sebesar Rp98 triliun (15%) dan pembiayaan lain sebesar Rp77 triliun (12%).

Sementara itu, kata Vivi, setengah persen dari anggaran pendidikan dianggarkan pada Transfer ke Daerah (TKD) mencapai Rp346 triliun (52%) dengan rincian Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp212 triliun (61%), Dana otsus Rp2,2 triliun (1%) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp132 triliun (38%).

Vivi menyebut bahwa perencanaan DAU sepenuhnya dilakukan oleh Kementerian Keuangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 di mana Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional memiliki kewenangan dalam proses perencanaan dan penganggaran.

“Sesuai PP 17/2017, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (MenPPN) dan Menteri Keuangan (Menkeu) merupakan menteri-menteri yang memiliki kewenangan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Sedangkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran Pendidikan di luar pengajuan anggaran Pendidikan di luar pengajuan Kemendikbud Ristek,” katanya.

Meski begitu, kata Vivi, Kemendikbud Ristek memberikan masukan mengenai indeks standar pelayanan minimum (SPM) bidang pendidikan sebagai salah satu dasar penentuan alokasi DAU yang ditentukan penggunaannya untuk bidang pendidikan.

Menegerikan Sekolah Swasta

Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Nisa Felicia menyebut pembebasan pungutan biaya pendidikan swasta bukan menjadi satu-saunta opsi kebijakan. Menurutnya, terdapat pilihan lain agar kebijakan yang tepat sasaran dan efisien, salah satunya adalah menjadikan sekolah swasta menjadi sekolah negeri.

“Maka buat kami, kenapa arahnya ke penegrian adalah itu tadi, sustainability dari suatu sekolah bisa lebih terjaga apabila dikelola oleh negara. Ini juga terjadi di negara-negara lain,” katanya.

Di samping itu, Nisa menyampaikan perlu kebijakan asimetris dan melibatkan penyelenggara pendidikan swasta dalam mengatasi permasalahan daya tampung di Indonesia dengan mempertimbangkan kategori sifat akses pendidikan di setiap daerah.

Kata Nisa, pembebasan pemungutan biaya Pendidikan swasta bukan satu-satunya opsi kebijakan, tetapi ada pilihan lain yang tepat sasaran dan efisien.

“Pendidikan negeri dan swasta bebas biaya perlu dilakukan dengan menggunakan pertimbangan dan perhitungan kesesuaian dengan tipologi akses pendidikan, kualitas sekolah swasta dan kesanggupan daerah,” tuturnya.

Setelahnya, Nisa memaparkan terkait adanya perbedaan antara sekolah swasta dengan kualitas pendidikan negeri. Jika pemerintah mau melibatkan swasta dalam memenuhi hak pendidikan dasar, maka pemerintah tidak bisa lepas dari kualitas pendidikan tersebut.

Kemudian, Nisa menjelaskan tentang kualitas sekolah swasta itu sangat lebar dan banyak kualitas swasta yang di bawah kualitas pendidikan negeri. Sehingga apabila pemerintah ingin melibatkan swasta dalam pemenuhan hak anak terhadap pendidikan dasar, maka kualitas pun harus diperhatikan.

“Harus dipilih kualitas swasta yang seperti apa yang dilibatkan. Hal ini tidak mudah, Yang Mulia. Pengalaman kami di DKI Jakarta, kami menggunakan indeks untuk menentukan sekolah swasta mana yang dapat dilibatkan dalam PPDB bersama disebutnya karena PPDB ini juga untuk swasta dengan mempertimbangkan hasil belajar, komposisi guru, akreditasi,” sebut Nisa.

Menurut Nisa, hal ini bukan hal yang mudah. Ia menceritakan pengalaman organisasinya di DKI Jakarta. Dirinya menggunakan indeks untuk menentukan sekolah swasta apa saja yang dapat dilibatkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), seperti mempertimbangkan komposisi guru dan akreditasi sekolah.

Nisa menyebut bahwa pemerintah harus memperhitungkan kualitas pendidikan sekolah swasta yang dianggap setara dengan sekolah negeri sebelum memberikan dukungan anggaran pendidikan.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait