Mahasiswa Gugat UU Pemilu, Minta Presidential Threshold Dihapus

Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Empat mahasiswa dari Fakultas Hukum dan Syariah UIN Sunan Kalijaga mengajukan uji materil terhadap ambang batas presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK untuk menghapus ambang batas presiden sebesar 20 persen karena dianggap bertentangan dengan moralitas demokrasi

Perkara Nomor 62/PUU-XXI/2024 diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nairul Haq, dan Ysalis Khoirul Fatna. Mereka menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Bacaan Lainnya

Agenda sidang pendahuluan dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan ditemani dengan dua hakim konstitusi lain, yaitu Guntur Hamzah dan Arsul Sani, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 16/7/2024. Para Pemohon mengikuti persidangan secara daring.

Para Pemohon mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan Pasal UU Pemilu, terkait keberadaan ambang batas yang mengatur persyaratan calon presiden untuk mengumpulkan sejumlah dukungan politik tertentu.

Mereka melihat hal ini sebagai langkah yang merugikan moralitas demokrasi para Pemohon, sehingga hak para Pemohon untuk memilih presiden yang sejalan dengan preferensi atau dukungan politiknya menjadi terhalang atau terbatas.

Dalam permohonannya, mereka menyatakan bahwa ketentuan ambang batas presiden cenderung menjadikan rakyat sebagai objek, bukan subjek dalam demokrasi.

Apalagi, sampai saat ini tidak ada itikad baik dari pembentuk Undang-Undang untuk melaksanakan atau setidak-tidaknya mempertimbangkan aspirasi konstitusional warga negara tersebut.

“Sikap pembentuk Undang-Undang ini menunjukkan bahwa mereka tidak melihat masyarakat sebagai subjek dalam pelaksaan demokrasi, sehingga aspirasi-aspirasinya tidak dipertimbanglan. Dengan demikian seharusnya Mahkamah dapat melangkah lebih jauh untuk menjaga moralitas demokrasi tersebut,” ucap Enika saat persidangan.

Selain itu, Enika juga menegaskan, mereka mengajukan permohonan setelah penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 untuk membuktikan bahwa permohonan ini tidak bersifat politis, melainkan murni perjuangan akademik dan advokasi konstitusional.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu melanggar batasan open legal policy dan menyatakan presidential threshold bertentangan dengan moralitas demokrasi.

Dalam sekali pemberian nasihat, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyebut bahwa Pemohon memiliki tugas yang berat dalam membangun argumentasi. Apalagi, kata dia, Pasal tersebut pernah digugat selama 33 kali dan hanya satu permohonan yang diterima sebagian.

Guntur lantas menyarankan agar Pemohon mempelajari permohonan dan putusan-putusan sebelumnya.

Selain itu, Guntur juga mempertanyakan alasan Pemohon yang ingin menghilangkan ambang batas presiden dengan mempertimbangkan setiap konsekuensi yang ada.

“Kalau Anda mau menyatakan dan menghilangkan (ambang batas presiden), pertimbangkan konsekuensinya. Kalau ini hilang, jangan-jangan nanti tidak ada dasar pemilu atau penentuan. Apakah tujuan Anda ingin menghilangkan sama sekali atau menyatakan berapa persen itu juga bisa seperti itu,” kata Guntur.

Jika Pemohon memberikan penghitungan alternatif seberapa besar perhitungan presidential threshold, maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang kuat. Apalagi, pada putusan-putusan sebelumnya, MK telah menyatakan bahwa penentuan angka harus rasional dan memiliki tolok ukur.

“Karena di situ implikasinya membuat penyelenggaraan pemilu terkait dengan ambang batas menjadi hilang. Kalau hilang apakah itu tidak akan menimbulkan kontraproduktif terhadap penegakan konstitusi,” ucapnya.

Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani meminta agar pemohon juga melacak pertimbangan sejumlah politisi dan anggota DPR yang tetap ingin mempertahankan ambang batas presiden sebesar 20 persen dalam rangka penguatan sistem presidensial.

“Kalau 0 persen, maka presiden memulai dari 0 dan tak ada dukungan sama sekali dari kekuatan politik yang punya representasi di DPR sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk membuat Undang-Undang dan mengawasi jalannya pemerintahan,” katanya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait