Minggu, 13 Juli 2025
Menu

Aturan Kepemilikan Senjata Api, Hanya Galak di Atas Kertas

Redaksi
Ilustrasi memegang senjata api (senpi) | Ist
Ilustrasi memegang senjata api (senpi) | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Setiap orang, sejatinya berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda. Serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Hal tersebut telah dijamin dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, termasuk dalam kepemilikan senjata api (senpi).

Dapat diketahui bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan izin kepemilikan senpi. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948, senpi yang berada di tangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan. Sebab, prosedur untuk memiliki senpi terlebih dulu dilihat dari sisi urgensinya.

Belum lama ini, seorang anggota DPRD Lampung Tengah Muhammad Saleh Mukadam (MSM) harus berurusan dengan hukum. Lantaran ia diduga tak sengaja menembak seorang warga saat acara adat resepsi pernikahan.

Setelah ditelusuri, empat senpi milik MSM merupakan senjata keluaran pabrik yang tidak dilengkapi surat izin, alias ilegal.

Menurut Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Siapa Saja yang Boleh Memiliki Senpi di Kalangan Sipil, ada beberapa golongan kelompok sipil yang boleh memiliki senpi.

“Secara umum, warga sipil tidak boleh menggunakan senpi jika tidak dibutuhkan. Selain itu, senpi yang dimiliki tidak boleh dipertontonkan di depan umum, apalagi untuk menakut-nakuti orang lain. Tetapi, setiap WNI berhak memiliki itu (senpi) dengan syarat-syarat tertentu, seperti harus mendapatkan izin dari Baintelkam Polri,” katanya kepada Forum Keadilan, Sabtu, 13/7/2024.

Kata Bambang, calon pemilik senpi juga akan diuji melalui tes psikologi dan tes kesehatan. Mereka harus secara resmi mendapatkan Izin Khusus Senjata Api (IKHSA) dari instansi atau kantor yang bertanggung jawab atas kepemilikan senpi. Izin ini pun harus diperpanjang setiap tahunnya.

Problemnya adalah bagaimana pengawasan yang dilakukan Baintelkam terkait distribusi senjata untuk kebutuhan sipil ini? Realitasnya memang nyaris tak terawasi dengan baik. Perpindahan senpi dari pengguna satu ke pengguna lain sering kali tak dilaporkan ke Baintelkam. Akibatnya, penyalahgunaan sering kali terjadi,” lanjut Bambang.

Bambang menyebutkan beberapa syarat dan prosedur kepemilikan senpi secara resmi dari Kepolisian. Calon pemilik senpi harus lulus dari syarat medis, yakni harus sehat jasmani dan rohani.

Selain itu, calon pemilik senjata juga tak boleh memiliki cacat fisik yang bisa mengurangi keterampilan memakai senjata, dan harus memiliki penglihatan normal.

Kemudian, harus lulus psikotes bagi warga sipil yang ingin memiliki senjata, seperti harus bisa menjaga emosi dan tidak cepat marah, dibuktikan melalui hasil psikotes dari Dinas Psikologi Mabes Polri.

Selanjutnya, pemohon tidak pernah terlibat tindak pidana, artinya tidak pernah terlibat kasus pidana dan hukum yang dibuktikan dari SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik) dari Kepolisian. Pemohon juga harus lolos screening dari Kadit IPP dan Subdit Pamwassendak.

Tak kalah penting, calon pemohon harus berusia 21 tahun hingga 65 tahun. Namun, dalam Peraturan Kepolisian (Perpol) Negara Republik Indonesia nomor 1 tahun 2022 menyebut bahwa usia minimal calon pemilik senpi adalah 24 tahun.

Menurut Bambang, aturan terkait senpi harus segera direvisi sesuai dengan perkembangan zaman. Katanya, kepemilikan senpi secara umum juga telah diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang bersifat pidana.

Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 disebutkan: Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.

“Revisinya terkait pelaksanaan pengawasannya. Kalau tidak, faktanya seperti saat ini, pengawasannya yang tak maksimal. Akibatnya Undang-Undang darurat itu akhirnya hanya galak di kertas saja,” pungkas Bambang.*

Laporan Merinda Faradianti