Tukar Caleg Usai Pileg Permainkan Suara Rakyat

Ratu Wulla. I Ist
Ratu Wulla. I Ist

FORUM KEADILAN – Pengunduran diri Ratu Ngadu Bonu Wulla sebagai caleg DPR RI menimbulkan polemik. Menukar caleg seusai proses pemilihan, dinilai sebagai pengkhianatan terhadap suara rakyat.

Sebagaimana diketahui, Ratu Wulla merupakan caleg dari Partai NasDem yang memperoleh suara tertinggi di Daerah Pemilihan (Dapil) II Nusa Tenggara Timur (NTT). 76.331 suara yang ia kantongi, menjadikannya sebagai satu-satunya kader NasDem yang lolos ke DPR RI dari dapil tersebut.

Bacaan Lainnya

Tetapi siapa sangka, dalam Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, seorang saksi dari NasDem menyodorkan surat pengunduran diri Ratu Wulla.

“Saksi tidak menyampaikan alasan yang bersangkutan kenapa mengundurkan diri. Adapun perolehan suara untuk Ratu Wulla adalah 76.331, unggul dari 6 calon lainnya termasuk mantan Gubernur NTT Viktor Laiskodat dengan perolehan suara 65.359,” kata anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu RI) Puadi kepada Forum Keadilan, Kamis 14/3/2024.

Pengunduran diri itu, kata Puadi, bakal segera ditindaklanjuti oleh KPU. Sementara, Bawaslu akan melakukan pengawasan agar prosesnya berjalan sesuai ketentuan.

 

Mundur untuk Meloloskan Calon Lainnya

Pengunduran diri caleg sendiri diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2024. Pasal 48 ayat 1 huruf (b) aturan tersebut mengatakan bahwa caleg akan digantikan jika mengundurkan diri.

Kemudian, Pasal 5 aturan itu bilang bahwa calon terpilih anggota DPR yang mengundurkan diri akan digantikan dengan calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya dari partai politik yang sama di dapilnya.

Jadi, jika Ratu Wulla mengundurkan diri, maka posisinya akan digantikan oleh caleg NasDem lainnya, yaitu Viktor Laiskodat.

Ketua Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik mengatakan, pengunduran diri adalah hak asasi warga negara dalam pemilu. Pengunduran diri Ratu Wulla, menurutnya sudah sesuai aturan.

“Hal tersebut dapat dibenarkan menurut peraturan yang terdapat di dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b, ayat (5), (6), dan (9) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2024,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Kamis 14/3.

Meskipun sesuai aturan, ratusan warga Sumba Barat Daya, NTT tidak setuju. Mereka menggelar aksi 73 ribu lilin dan doa bersama di Alun-Alun Kota Tambolaka, Sumba Barat Daya pada Minggu 17/3.

Aksi tersebut mereka gelar sebagai bentuk protes terhadap undur dirinya Ratu Wulla. Aksi itu disebut sebagai simbol matinya demokrasi karena mengabaikan suara rakyat.

Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin juga berpendapat begitu. Ujang menilai, pengunduran diri Ratu Wulla sangat tidak wajar.

Ia melihat adanya dugaan bahwa Ratu memang sengaja memberikan jalan kepada Viktor untuk menjadi anggota DPR menggantikannya.

“Ini tidak wajar. Saya menduga ini ada kepentingan dan tekanan partai agar yang dilantik memang Viktor. Apapun itu, saya melihat terdapat celah permainan internal partai atau deal-deal-an partai. Tentu partai yang punya urusan dan kuasa. Nyatanya, partai lebih menghendaki Viktor,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat 15/3.

Ujang dengan tegas menyatakan bahwa hal tersebut melanggar etika dan moral karena sudah mencederai suara rakyat.

“Mestinya yang pas, biarkan Ratu menang dulu dan dilantik. Baru di tengah jalan mundur, lalu di PAW (Pergantian Antar Waktu) oleh Viktor. Kalau itu mainnya lebih soft,” tegasnya.

Ujang mengatakan, praktik politik seperti ini sebenarnya bukan hal yang lazim. Tetapi menurutnya, begitulah politik di Indonesia.

“Soal lazim atau tidak, ya tidak lazim. Tetapi kan terjadi, inilah dunia politik kita yang banyak diwarnai hal-hal di luar dugaan,” singgungnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta. Menurutnya, langkah pengunduran diri Ratu Wulla terlalu pagi. Harusnya, pengunduran diri itu dilakukan setelah adanya penetapannya sebagai caleg terpilih.

Kaka menjelaskan, memang pengunduran diri Ratu Wulla sudah sesuai aturan. Tetapi kalaupun itu sah, secara etika tidak elok.

“Walaupun sah seseorang itu mengundurkan diri, tapi secara etika politik tidak elok,” katanya kepada Forum Keadilan, Sabtu 16/3.

Kaka menilai, hal yang perlu digarisbawahi dalam sistem pemilu proporsional terbuka ialah para pemilih menggunakan hak suaranya. Peristiwa mundurnya Ratu Wulla ini, kata Kaka, menandakan bahwa suara rakyat yang memilihnya telah dikhianati.

“Kasus ini sangat tidak menghormati para pemilih yang sudah memilihnya,” katanya.

 

Polemik Aturan Pengunduran Diri

Meskipun KPU dan KIPP menyebut pengunduran diri ratu sudah sesuai aturan, namun Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli punya tafsir berbeda.

Menurut Lili, Pasal 48 ayat 1 (PKPU) Nomor 6 Tahun 2024 yang mengatur pergantian caleg karena mengundurkan diri, hanya diperuntukkan bagi caleg yang terpilih dan sudah resmi dilantik.

“Tafsirnya bisa beda tentang aturan tersebut. Aturan mengacu pada caleg yang terpilih dan sudah resmi dilantik jadi anggota dewan. Jadi dia sudah menjadi caleg, bukan sebagai caleg,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat 15/3.

Lili melanjutkan, jika Ratu Wulla sudah dilantik, memang dia diperbolehkan mengundurkan diri dan digantikan calon lainnya. Tetapi persoalannya, saat ini dia belum dilantik.

Lili berpendapat, seharusnya Ratu Wulla tidak boleh mengundurkan diri sebagai caleg terpilih, terlebih KPU belum mengumumkan secara resmi hasil rekapitulasi.

Menurut Lili, mundurnya Ratu Wulla perlu diketahui dan diselidiki faktornya. Sebab, kasus tersebut tergolong baru dan belum ada payung hukum serta larangan dan sanksinya.

“Kasus mengundurkan diri caleg terpilih ini kasus baru yang perlu dikaji. Apalagi faktor mengundurkan diri tersebut untuk memberikan kesempatan pada calon lain agar menjadi anggota DPR, Bawaslu, atau KPU harus menelusuri lebih jauh apa faktornya. Jangan sampai karena intimidasi atau transaksional jual beli kursi,” tegas Lili.

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menambahkan, fenomena Ratu Wulla yang mundur harus dikaji secara cermat oleh KPU agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Utamanya, rakyat yang sudah menitipkan kepada Ratu Wulla.

“Secara institusional, KPU perlu mengkaji secara cermat surat pengundurannya. Kemudian, secara personal KPU harus memanggil Ratu Wulla untuk memberikan klarifikasi,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat 15/3.

Ia juga berharap KPU bisa meredam segala spekulasi yang menyebut adanya permainan dalam pengunduran diri Ratu Wulla. Untuk itu, kata Agung, Ratu Wulla juga perlu dipanggil secara personal untuk dimintai keterangan pasti.

 

Dapat Tugas Khusus

Saat dikonfirmasi soal pengunduran diri Ratu Wulla, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai NasDem, Hermawi Taslim menyebut bahwa pengunduran diri tersbut atas kemauannya sendiri. Ratu lah yang membawa sendiri surat pengundurannya kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) NasDem.

“Ditulis itu atas kemauan sendiri dengan penuh kesadaran dan segala macam. Itu saya hafal kalimat itu,” kata Hermawi saat ditemui di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Jumat 15/3.

Atas pengunduran diri tersebut, kata Hermawi, NasDem membuat surat pengantar kepada KPU yang memuat soal pengunduran diri Ratu sebagai caleg DPR RI.

“Menurut ketentuan perundang-undangan, karena beliau adalah calon dari NasDem, maka partai NasDem harus membuat surat pengantar. Maka Ketua Umum (Surya Paloh) bersama saya membuat surat pengantar kepada KPU, yang diantar kemarin itu,” tuturnya.

Hermawi menyebut, mundurnya Ratu dari pencalonan ialah karena dirinya mendapat tugas khusus dari Surya Paloh. Tetapi, soal seperti apa tugas khusus tersebut, ia tak mengetahuinya.

“Setiap orang yang mengundurkan diri dari satu jabatan di NasDem. Tradisi NasDem, kemudian dapat tugas khusus. Ketika beliau membawa surat, mengatakan kepada kita, kepada Ketua Umum, kepada kami, ‘saya mengundurkan diri dari daftar calon ini’, setelah itu maka dia dapat tugas khusus. Tugas khususnya apa, saya juga enggak tahu. Tugas khusus itu biasanya personal,” pungkasnya.* (Tim FORUM KEADILAN)