Selasa, 15 Juli 2025
Menu

TNI-Polri Bisa Isi Jabatan ASN, Dwifungsi ABRI Hidup Lagi di Era Jokowi

Redaksi
Ilustrasi prajurit TNI
Ilustrasi prajurit TNI | ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru. Penilaian tersebut muncul usai pemerintah membuka pintu bagi anggota TNI-Polri untuk mengisi jabatan aparatur sipil negara (ASN) lewat aturan turunan Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 atau yang disebut dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) manajemen ASN.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengatakan, perluasan penempatan TNI-Polri di wilayah sipil yang tidak berkaitan dengan pertahanan negara, menandakan pemerintah tidak berkomitmen secara politik untuk menguatkan reformasi TNI-Polri sebagaimana amanat Reformasi 1998.

“Konsekuensi yang ditimbulkan atas penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil tersebut adalah menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI dengan dalih kompetensi, yang justru dilakukan oleh pejabat sipil yaitu Joko Widodo,” kata Halili dalam keterangan tertulis yang diterima Forum Keadilan, Sabtu, 16/3/2024.

Selain mengkhianati amanat Reformasi, menurut Halili, RPP yang menempatkan TNI-Polri di wilayah sipil ini juga memiliki dampak terhadap karier masyarakat sipil.

“RPP ini juga memiliki kompleksitas persoalan yang perlu diatasi melalui pengaturan yang terperinci dengan kriteria yang tepat. Sebab melalui prinsip resiprokal, RPP ini dapat berdampak kepada jenjang karier kepada ASN maupun TNI/Polri,” ungkapnya.

Harusnya, lanjut Halili, RPP ASN mengokohkan tugas TNI-Polri di sektor keamanan dan pertahanan, bukan malah melemahkan jabatan-jabatan pemerintahan yang selama ini diduduki masyarakat sipil.

“Penyusunan RPP ASN semestinya mengokohkan komitmen Reformasi TNI-Polri, sehingga tetap meletakkan dua alat negara ini sebagai instrumen negara yang kuat dan profesional pada bidang pertahanan dan bidang keamanan negara,” katanya.

Sementara itu, Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie mempertanyakan langkah pemerintah yang membuka ruang bagi aparat negara di wilayah sipil, termasuk apakah nantinya masyarakat sipil bisa masuk ke wilayah kerja TNI-Polri.

“Pertanyaannya apakah ini vice versa? apakah sipil bisa mengisi jabatan militer? Jika tidak, mengapa harus ada cross domain?” kata Connie kepada Forum Keadilan, Sabtu, 16/3.

Namun, Connie mengaku dirinya tidak dalam posisi menentang TNI dalam menangani kasus darurat luar biasa yang tidak bisa ditangani oleh pemerintah sipil. Menurut dia, situasi tersebut wajar dan sudah dianut oleh banyak negara demokrasi.

Tapi, lanjut Connie, ketika pekerjaan yang bisa ditangani oleh sipil dan kemudian ‘diambil alih’ oleh aparat negara, itu lah yang tidak boleh. Dia juga melihat adanya kelebihan sumber daya manusia (SDM) di tubuh TNI yang sudah tak bisa ditampung lagi.

“Namun TNI masuk ke jabatan sipil, saya melihat urgensinya terjadi kelebihan SDM TNI terutama pada struktur pamen yang kemudian membentuk bottleneck (satu komponen membatasi kinerja komponen lain), sehingga perlu dicarikan karier di luar TNI,” tuturnya.

Sebagaimana Halili, Connie juga menilai bahwa perluasan ruang kerja aparat negara tersebut akan kembali membangunkan Dwifungsi ABRI yang telah dibabat seiring runtuhnya rezim Soeharto.

“Untuk itu, reformasi memisahkan domain sipil dan militer secara tegas, karena akan baik dan indah pada domain masing-masing. Sekarang nampaknya akan diulang kembali,” ujarnya.

Connie membeberkan kekhawatiran sipil terhadap Dwifungsi ABRI muncul, karena akan terjadi pergeseran norma domain sipil, dari ketundukan terhadap aturan dan hukum ke norma militer yang tunduk pada komando dan atasan.

“Sehingga perintah sering kali bertentangan dengan norma, aturan dan hukum yang berlaku yang pada ujungnya menghasilkan hukum yang tumpul dan penumpukan permasalahan ketidakadilan, sehingga dapat menimbulkan ledakan sosial,” bebernya.

Menurut Connie, prinsip tunduk pada komando tidak bisa diterapkan di wilayah sipil, sebab domain sipil hanya tunduk pada aturan dan hukum. Bagi dia, kedua domain tersebut bertentangan tapi saling membutuhkan.

Sementara domain sipil, kata Connie, lebih mengedepankan bottom-up atau mendengarkan aspirasi dari masyarakat dan pemerintah mengimplementasikan.

“Ketika prinsip sipil hancur, maka keseimbangan akan hilang, hukum menjadi tumpul, ketidakpercayaan publik domestik maupun asing akan meningkat, modal tidak mau datang, ekonomi deklinasi dan terjadi krisis moneter yang memicu keamanan hingga disintegrasi,” jelasnya.

Bagi Connie, aparat negara boleh saja membantu sipil, tapi tidak untuk pekerjaan karier sipil juga musti disusupi oleh mereka.

Adapun dampak yang akan diterima masyarakat sipil apabila TNI-Polri menduduki jabatan yang bukan kewenangannya, menurut Connie, adalah terjadinya fenomena inferiority complex, suatu situasi di mana masyarakat sipil merasa lemah tak berdaya dibanding aparat negara.

“Namun di militer terjadi superiority complex yang merasa bisa merambah domain sipil. (Sebaliknya) apa yang terjadi jika pejabat sipil boleh melanggar domainnya? Pasti akan terjadi hal yang sama,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menargetkan RPP tentang manajemen ASN selesai pada 30 April 2024.

“Pemerintah saat ini terus bergerak cepat untuk menyelesaikan RPP ini. Ditargetkan RPP manajemen ASN ini ditetapkan pada 30 April 2024,” kata Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 13/3.

Menurut Azwar, timeline pembahasan RPP sudah dilaksanakan sejak 12 Desember 2023, dengan membentuk tim perumus.

Kemudian, pada 29 Desember 2023 pengajuan izin prakarsa kepada presiden. Lalu, pada 5 Februari 2024 Presiden Jokowi telah menyetujui penyusunan RPP tersebut.*

Laporan M. Hafid