FORUM KEADILAN – Proyek Strategis Nasional (PSN) yang didorong oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun pada praktiknya di lapangan, PSN kerap kali menjadi pemicu konflik agraria.
Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Roni Septian menyebut, PSN menjadi wilayah baru penyumbang konflik agraria. Pihaknya mencatat, sepanjang tahun 2021 hingga 2023 ada 115 kejadian konflik agraria terkait PSN di berbagai wilayah.
Menurut Roni, PSN lebih memperhatikan pada pengusaha dan investor dibandingkan kepada rakyat.
“PSN yang saat ini ada merupakan proyek bisnis pengusaha, bukan proyek yang diminta atau dibutuhkan rakyat kebanyakan,” ujar Roni kepada Forum Keadilan, Sabtu 20/1/2024.
Ia menilai, posisi masyarakat kian melemah karena pemerintah memberikan berbagai kemudahan untuk proses pembebasan lahan demi investasi dan percepatan PSN.
Masuknya PSN ke dalam daftar penyumbang konflik agraria juga dibenarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian mengatakan, sejak tiga tahun terakhir pihaknya mengantongi 1.675 aduan HAM terkait konflik agraria dan Sumber Daya Alam (SDA).
PSN termasuk sebagai salah satu dari empat klasifikasi aduan konflik agraria yang diadukan.
Berdasarkan data Komnas HAM, konflik yang terjadi dalam delapan bulan terakhir, secara masif terkait dengan PSN. Selain data statistik, potret kasus yang diangkat menunjukkan eskalasi terjadi manakala suatu proyek dimasukkan ke dalam PSN.
Terkait hal ini, Peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Annisa Azzahra menyebut, PSN ibarat titik api yang siap membakar dalam peta pembangunan Jokowi.
“Titik-titik itu tinggal menunggu meledak saja,” ucapnya dalam sebuah diskusi daring Jumat, 19/1.
Annisa mengungkapkan, hampir di setiap PSN terjadi penolakan oleh masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena pembangunannya mementingkan bisnis, sehingga tak memberi ruang negoisasi dan partisipasi untuk masyarakat.
Menurutnya, penolakan selalu didasari alasan yang sama, yaitu masyarakat khawatir kehilangan tempat tinggal dan pendapatannya.
PBHI sendiri mengklasifikasikan PSN dalam enam kluster berdasarkan pulau, yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, juga Maluku dan Papua. Pembangunan ini masih tersentralisasi di pulau Jawa dengan sekitar 53 proyek yang didominasi untuk pembangunan bendungan.
Di pulau Sumatra terdapat 30 proyek yang mayoritas untuk pembangunan infrastruktur dan jalan tol. Sedangkan di Kalimantan, terdiri dari 11 proyek yang difokuskan untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kawasan industri. Sementara untuk Sulawesi, Papua dan Maluku dengan total 30 proyek, didominasi pada pembangunan smelter. Bali dan Nusa Tenggara diprioritaskan untuk pembangunan destinasi pariwisata super prioritas.
Seperti apa yang diungkapkan Komnas HAM, Annisa menyebut, dalam melancarkan pembangunan PSN, pendekatan sekuritisasi yang bersifat represif cenderung digunakan.
Peneliti dan Kepala Pusat Studi Agraria IPB Rina Mardiana juga berpendapat begitu. Menurutnya, PSN bak pedang bermata dua. Pada satu sisi, pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lainnya, PSN sering memicu krisis sosio-agraria lingkungan.
Hal ini, kata Rina, berdampak pada masyarakat lokal yang berada di desa ataupun pinggiran kota. Di bawah ancaman proyek skala besar, masyarakat kehilangan hak atas tanah dan tempat tinggal, hak atas mendapatkan sumber pendapatan dan standar hidup yang layak.
Selain itu, kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam mengambil keputusan sering kali meningkatkan ketegangan dan konflik agraria.
Izin Tabrak Aturan
PSN sendiri sempat disinggung beberapa kali dalam Debat Keempat Pilpres 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Senayan, Jakarta Pusat, Minggu 21/1/2024. Persoalan ini disebut ketika tiga calon wakil presiden (cawapres) mendebatkan hak masyarakat adat.
Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD mengaku, di Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), ada 10 ribu kasus aduan mengenai masyarakat adat. Sebanyak 2.587 di antaranya merupakan kasus tanah adat.
Ia menyebut, persoalan konflik tanah adat merupakan persoalan pelik. Aparat penegak hukum tak mau melaksanakan aturan meski sudah ada putusan inkrah dari Mahkamah Agung sekalipun. Ia juga menyebut, data terkait konflik agraria banyak disembunyikan.
Untuk itu, Ganjar-Mahfud berupaya memulihkan hak-hak masyarakat adat adalah dengan menertibkan birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum.
Sementara, cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berjanji akan melibatkan masyarakat adat untuk menghindari konflik dalam pembangunan, terutama PSN.
“Menghormati masyarakat adat adalah memberikan ruang hak ulayat, budaya, spiritual, dan hak kewenangan mereka menentukan cara membangun,” kata Cak Imin.
Sedangkan cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka menyebut, pembangunan PSN harus merangkul masyarakat adat.
“Kita harus perbanyak dialog dengan tokoh adat, kepala-kepala adat, tokoh masyarakat setempat, jangan sampai ketika ada pembangunan masif atau PSN, jangan sampai masyarakat adat tersingkirkan,” ucap Gibran.
Namun, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Fanny Tri Jambore berpandangan, permasalahan PSN sebenarnya ada pada pemberian izinnya. Pria yang akrab disapa Rere ini menyebut, atas nama pembangunan, perizinan dapat dimudahkan sehingga menabrak batasan yang telah diatur.
“Paket kebijakan ini mempermudah semua orang untuk mendapatkan izin. Semua tempat boleh mendapat izin, tanpa melihat daya hidup dan daya tampung lingkungan tersebut,” ujarnya.
Rere menyarankan, baiknya pemerintah meninjau kembali konsep PSN. Caranya, ubah struktur hukumnya. Perizinan harus sulit dan ketat agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dicegah, dikendalikan dan bisa melindungi masyarakat.
“Semakin dipermudah, kebutuhan untuk mencegah, mengontrol dan melindungi semakin hilang. Ini yang harus menjadi titik tekan,” ungkapnya.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University Prof Sudarsono Soedomo juga begitu. Menurutnya, PSN tidak bisa dijadikan alasan sebagai penyebab konflik agraria di Indonesia. Sebab di mata pelaksana PSN, tanah tersebut merupakan milik negara yang dipegang otoritas dan sudah berizin.
“Misalnya, tanah masyarakat yang sudah digarap sejak sebelum Indonesia merdeka tiba-tiba diklaim sebagai kawasan hutan. Ini banyak terjadi. Kemudian ada PSN di atas tanah itu, tentu masyarakat protes. Sementara, di mata pelaksana PSN, tanah itu tanah negara yang oleh pemegang otoritas, telah diberi izin bagi PSN,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Senin 22/1.
Dirinya menegaskan, otoritas negara yang tidak patuh pada peraturan perundang-undangan lah yang jadi penyebabnya. Mereka memasukkan tanah masyarakat ke dalam daftar kawasan hutan.
“Apakah PSN penyebab timbulnya konflik? Bukan! Otoritas penguasa tanah negara yang mengklaim sebagai kawasan hutan itu penyebab konfliknya,” tuturnya.
Sudarsono menegaskan, dirinya setuju apabila dibentuk sebuah lembaga yang mampu menyelesaikan konflik agraria. Namun, lembaga tersebut sebenarnya tak diperlukan apabila presiden bisa menyelesaikan permasalahannya.
“Jika presidennya cukup cerdas ya sebenarnya tidak perlu juga. Tidak ada pejabat yang berani membongkar kekisruhan itu. Bahkan, akademisi cenderung tiarap bila diajak diskusi persoalan itu,” sambungnya.
Sudarsono sendiri mengaku enggan berkomentar soal gagasan terkait agraria yang diungkapkan oleh ketiga cawapres di Debat Keempat Pilpres 2024. Ia hanya menyebut, debat itu bak pertandingan sepak bola antara klub besar dunia melawan klub lokal.
“Ibarat pertandingan bola, debat cawapres itu ibarat Real Madrid melawan Persi apa. Enggak enak ditonton, apalagi dikomentari. Paling enak dicuekin saja,” ujarnya.* (Tim FORUM KEADILAN)