FORUM KEADILAN – Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik terkait pertemuannya dengan eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Vonis tersebut dapat menambah panjang daftar perkara pidana yang menjeratnya.
Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) telah menyatakan mantan Ketua KPK Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Firli dinilai telah melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf a atau Pasal 4 ayat 1 huruf j dan Pasal 8 ayat e Peraturan Dewas KPK Nomor 3 Tahun 2021.
Meskipun Firli sendiri tidak menghadiri sidang pembacaan putusannya, tetapi ia tetap dikenakan sanksi berat dan diminta mengundurkan diri dari jabatannya.
“Menjatuhkan sanksi berat kepada terperiksa berupa, diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean membacakan putusan di Gedung ACLC, Jakarta Selatan, Rabu 27/12/2023.
Selain pertemuan dengan SYL, terdapat dua pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku lain yang dilakukan Firli. Pertama, Firli tidak melaporkan secara benar harta kekayaan di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Kedua, soal sewa rumah di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.
Selain persoalan etik, Firli juga diketahui tengah menjalani proses pidana terkait dugaan pemerasan terhadap SYL. Dalam perkara ini, Polda Metro Jaya menjerat Firli dengan Pasal 12 e, atau Pasal 12B, atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 KUHP.
Pakar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mengatakan, putusan sidang etik Firli bisa dijadikan bukti dalam perkara pidananya. Bahkan kata Hibnu, tidak menutup kemungkinan kalau perkaranya akan bertambah.
“Putusan Dewas KPK sangat bisa digunakan untuk bukti di kasus pidananya. Nanti, akan ada tindak pidana umum, dengan tindak pidana korupsi, yang sedang diusut dan umum. Karena diatur dalam UU KPK, ada administrasi. Apakah nantinya akan dihentikan atau apa, tergantung putusannya. Jadi, kalau istilah hukumnya, ada beberapa perbuatan pidana adminitsrasi dan tindak pidana korupsi,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Rabu 27/12.
Seperti yang dikatakan Hibnu, memang berdasarkan Pasal 36 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK. Sedangkan Pasal 65 menyebut, setiap anggota KPK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Hibnu juga mengkritik sikap Firli yang sering tidak hadir dalam proses sidang etiknya. Menurut Hibnu, tidak hadirnya Firli menunjukan bahwa ia tak mengindahkan proses hukum.
“Saya melihat dia sebagai role model penegak hukum yang tidak mengindahkan penyelesaian proses hukumnya. Boleh dibilang, ‘sedikit meremehkan’,” ungkapnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Fickar beranggapan, ketidakhadiran Firli merupakan siasat agar ia tidak dihukum etik.
“Firli ini selalu bersiasat agar tidak dihukum etik oleh Dewas. Padahal kelakuannya sudah sangat merugikan institusi. Menurut saya, perbuatannya sudah jelas selain melanggar etika juga sudah menjurus pada pidana,” katanya kepada Forum Keadilan, Rabu 27/12.
Menurut Fickar, keputusan Dewas KPK yang menjatuhi sanksi berat terhadap Firli dinilai sudah maksimal. Meskipun, sebelumnya publik skeptis terhadap Dewas KPK yang selama ini seakan enggan menghukum etik Firli.
“Menurut saya putusan Dewas maksimal, merekomendasikan Firli untuk diberhentikan. Karena tindakannya sudah merugikan KPK. Baik secara moril, dalam hal ini nama baik KPK, maupun materiil, yaitu biaya yang digunakan untuk gaji dan pendidikannya,” tutup Fickar.* (Tim FORUM KEADILAN)