FORUM KEADILAN – Kasus jual beli jabatan kembali diungkap. Bengkoknya sistem meritokrasi, jadi alasan maraknya praktik tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba dalam operasi tangkap tangan (OTT), Senin 18/12/2023. Selain Abdul Ghani, KPK juga mengamankan 17 orang lainnya. Mereka ditangkap atas dugaan dugaan korupsi lelang jabatan dan pengadaan barang dan jasa.
Sebagaimana diketahui, kasus lelang jabatan atau jual beli jabatan bukan pertama kalinya terjadi. Berdasarkan data di situs KPK, dari 2004 sampai awal 2022 terdapat 22 gubernur dan 148 bupati atau wali kota telah ditindak oleh KPK.
Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar berpendapat, maraknya praktik jual beli jabatan terjadi karena merit sistem tidak ditegakkan.
Soal pengangkatan jabatan, sebenarnya diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Aturan itu menyebut, penerapan manajemen ASN harus sesuai dengan prinsip meritokrasi yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja, tanpa membedakan latar belakang seseorang.
Meskipun begitu, kata Fickar, aturan tersebut masih terlalu besar dalam memberikan kewenangan pada atasan. Sehingga, penilaian cenderung subjektif, bukan pada mekanisme yang objektif.
Untuk meminimalisir terjadinya jual beli jabatan, menurutnya, sistem pengangkatan jabatan harus lebih terbuka.
“Sistem harus lebih terbuka. Jika perlu, ada penilaian dari masyarakat sebagai stakeholder yang dilayani pejabat publik,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Rabu 20/12/2023.
Fickar menjelaskan, adanya jual beli jabatan akan berdampak pada buruknya pelayanan publik. Ujungnya, akan timbul korupsi.
“Pelayanan publik semakin buruk dan pejabat publik semakin berorientasi pada pendapatan materiil yang bermuara pada maraknya korupsi,” ungkapnya.
Pengamat Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro juga sependapat. Menurutnya, jual beli jabatan merusak demokrasi dan menjadi pintu masuk korupsi.
Riko melihat, sebenarnya pemerintah memiliki sistem model meritokrasi untuk menangani jual-beli jabatan.
“Dalam praktiknya itu ada Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). Artinya seluruh pejabat itu sebenarnya punya koridor, tahapan yang detail dan baik, itu yang digunakan. Namun dalam praktiknya, kepentingan politik itu jauh lebih dominan,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Rabu 20/12.
Jual-beli jabatan, menurut Riko, identik dengan pendekatan-pendekatan subjektif. Sialnya, pendekatan subjektif tersebut biasanya dibarengi dengan tindakan transaksional.
Sama seperti Fickar, Riko juga menganggap bahwa aturan di UU ASN bukan solusi. Cara jitu untuk menanggulangi fenomena jual-beli jabatan yang benar ialah dengan mengembalikannya kepada fungsi meritokrasi.
“Menurut saya, kembalikan lagi ke fungsi meritokrasi, penjaringan pemimpin yang berdasarkan penilaian yang terukur. Karena sudah ada kategorinya, jadi kalau seseorang mau menjabat posisi tertentu, ya harus memiliki syarat tertentu itu. Kemudian, kembalikan fungsi Baperjakat,” imbuhnya.
Riko menjelaskan, meritokrasi nantinya berfungsi sebagai seleksi administrasi. Sedangkan Baperjakat, melakukan seleksi dari rekam jejak. Melalui saringan ini, nanti kepala daerah akan memilih mana yang terbaik untuk menduduki jabatan.
Kemudian kata Riko, untuk mengawasi praktik jual beli jabatan bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan pihak yang merasa dirugikan atas praktik jual-beli jabatan tersebut.
“Jadi misalkan ada ASN yang merasa bisa menempati posisi tersebut karena memiliki pengalaman dan rekam jejak yang mumpuni, namun tidak diusung, mereka bisa melakukan beberapa upaya untuk mempertanyakan seleksi proses jabatan tersebut,” tutupnya.* (Tim FORUM KEADILAN)