Saksi Ahli Nilai Penetapan Tersangka Firli Bahuri Tak Sesuai Prosedur

Prof. Romli Atmasasmita saat menjadi saksi ahli dalam sidang praperadilan Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 14/12/2023 | M. Hafid/Forum Keadilan
Prof. Romli Atmasasmita saat menjadi saksi ahli dalam sidang praperadilan Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 14/12/2023 | M. Hafid/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Sidang praperadilan yang diajukan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri untuk melawan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya Irjen Karyoto sudah memasuki agenda pemeriksaan saksi dan keterangan ahli.

Setidaknya, ada enam saksi yang dihadirkan oleh pihak Firli, salah satunya Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Romli Atmasasmita.

Bacaan Lainnya

Dalam persidangan, Romli mengungkapkan bahwa suatu perkara pidana setelah dibuat laporan polisi tidak bisa langsung dilakukan penyidikan, tetapi harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu oleh Penyelidik. Hal itu guna mencari suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Menurut Romli, jika dugaan tindak pidana tersebut tidak dilakukan penyelidikan lebih dulu melainkan langsung dilakukan penyidikan, maka penyidikan dan penetapan tersangka terhadap Firli tidak bisa dinyatakan sah.

“Dalam hal tidak dilakukan penyelidikan dan langsung dilakukan penyidikan dalam suatu perkara, tidak dapat dinyatakan sah penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut,” kata Romli saat menjadi saksi ahli dalam sidang praperadilan Filri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, 14/12/2023.

“Berarti belum ditemukan adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan,” imbuhnya.

Begitu halnya, lanjut Romli, dengan proses penyelidikan yang tidak dilakukan pemeriksaan klarifikasi terhadap terlapor, maka penyidikan dan penetapan tersangka dinilai dilakukan tidak sesuai dengan prosedur.

“Karena tidak ada klarifikasi terkait dengan apa yang dituduhkan pelapor terhadap terlapor, serta tidak ada ruang dan waktu bagi terlapor maupun saksi, untuk menyangkal tuduhan pelapor atau mengakuinya,” ujaranya.

Romli menjelaskan bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Kedua unsur ini, lanjut Romli, harus dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan serta penyidikan.

“Apabila salah satu unsur mens rea atau unsur actus reus tidak dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan/penyidikan, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana,” tuturnya.

Menurut Romli, bukti permulaan yang cukup dalam tahapan dalam penetapan tersangka sekurang-kurangnya terdiri dari dua alat bukti yang sah.

“Dalam hal ini, di dalam tahapan penetapan tersangka, bukti permulaan yang cukup tersebut benar-benar menunjukkan bahwa tersangka diduga keras melakukan tindak pidana. Apabila dalam suatu tindak pidana terbukti hanya ada satu alat bukti yang sah dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP, maka tidak dapat dijadikan dasar sebagai penetapan tersangka,” ucapnya.

Lebih lanjut, Romli menegaskan bahwa alat bukti dalam menetapkan tersangka harus sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif.

“Sedangkan dalam penetapan tersangka terhadap FB hanya berdasarkan alat bukti yang memenuhi unsur kuantitatif, tetapi tidak memenuhi unsur kualitatif. Tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan adanya actus rea maupun mens rea sebagaimana dimaksud Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” pungkasnya.*

Laporan M. Hafid

Pos terkait