FORUM KEADILAN – Kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengklaim kalau pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) untuk melawan dugaan intervensi penguasa. Tetapi, tawaran kesepakatan itu justru dinilai merugikan.
Klaim jalinan komunikasi tersebut dilontarkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto. Menurutnya, komunikasi dijalin karena kubu Ganjar-Mahfud dan kubu AMIN sama-sama mendapat tekanan hingga terjadinya intervensi kekuasaan.
“Dalam konteks ini kami juga membangun komunikasi dengan AMIN karena merasakan hal yang sama. Sehingga, inilah yang kemudian kami luruskan supaya demokrasi berada pada koridornya, demokrasi berada pada rakyat yang mengambil keputusan bukan pada elit dan itu harus dibangun suatu narasi bagi masa depan,” kata Hasto di Hotel Sari Pasific, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 18/11/2023.
Namun, klaim Hasto itu dibantah oleh Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem Ahmad Ali. Ia memastikan, Koalisi Perubahan tidak akan menjalin komunikasi yang berlandaskan perasaan semata.
“Jadi sekali lagi bahwa Koalisi Perubahan itu tidak akan pernah membangun koalisi yang semangatnya kemarahan dan kebencian,” kata Ahmad Ali, Selasa 21/11.
Pengamat Politik Citra Institute Yusak Farchan menilai, penolakan yang dilakukan NasDem tersebut sangat rasional karena beberapa alasan.
Pertama, posisi partai besutan Surya Paloh ini dinilai masih loyal terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sekalipun beberapa menteri dari NasDem telah dicopot.
“Kedua, Keberadaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun bagian dari koalisinya pendukung Pak Jokowi kemarin, dan PKB ada pada lingkaran kekuasaan,” kata Yusak kepada Forum Keadilan, Rabu 22/11.
Menurut Yusak, jalinan komunikasi yang diklaim Hasto akan sulit terwujud apablia digunakan untuk melawan kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Selain karena dua faktor tersebut, juga secara kalkulasi politik kubu Anies akan dirugikan jika bergabung dengan kubu Ganjar.
“Jadi, hitung-hitungan politiknya kalau kemudian AMIN bergabung melawan Prabowo-Gibran, saya kira tidak terlalu menguntungkan. Terutama bagi porosnya Anies-Muhaimin. Karena kalaupun yang berkonflik sekarang adalah porosnya Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran, sebetulnya yang menikmati keuntungan justru porosnya Anies-Muhaimin,” terangnya.
Selain itu, kata Yusak, secara ideologis ada irisan pemilih di antara kedua kubu tersebut. Pemilih Anies dinilai cenderung memiliki ideologi ‘Islam Kanan’. Sedangkan, pemilih kubu Ganjar memiliki aliran nasionalis. Hal itulah yang dianggap menjadi hambatan bersatunya kedua kelompok tersebut.
“Saya kira mereka tidak banyak diuntungkan, karena irisan pemilihnya Pak Anies itu sebagian memang secara ideologis tidak ketemu dengan pemilihnya Ganjar-Mahfud. Terutama yang dari kalangan nasionalis berhadapan dengan kelompok-kelompok ideologis pendukung Pak Anies Baswedan dari kelompok Islam kanan,” ucapnya.
Menurut Yusak, jika berbicara soal adanya tekanan dan intervensi, maka sebetulnya PDIP juga berpotensi melakukan hal yang sama. Pasalnya, partai berlogo banteng itu merupakan partai pengendali kekuasaan saat ini.
Ditambah lagi, sudah ada beberapa kasus yang dilakukan oleh kader PDIP. Misalnya kasus Bupati Majalengka yang dianggap melakukan pelanggaran pemilu sehingga diberikan sanksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini membuat narasi yang dibangun oleh PDIP mengenai tekanan dan intervensi termentahkan, dan tidak bisa mempengaruhi persepsi publik secara signifikan.
Hal yang sama juga berlaku untuk isu hak asasi manusia (HAM) dan dinasti politik yang mencuat belakangan ini.
“HAM ini kan isu musiman yang selalu muncul pada saat pemilu. Pada saat elektoral tiba, tapi hilang jika pemilu sudah selesai. Isu-isu tentang politik dinasti juga kan mental, dalam beberapa survei terakhir justru membuat elektabilitas Pak Ganjar turun,” jelasnya.
Yusak berpendapat, alasan di balik klaim Hasto soal jalinan komunikasi antara kubu Ganjar-Mahfud dan AMIN hanya untuk mendapatkan legitimasi mayoritas, dan butuh kawan untuk sama-sama melawan rezim saat ini.
“Iya tentu ingin mendapatkan legitimasi mayoritas. Jadi, kalau mereka merasa ada tekanan politik, intervensi, sementara di sisi lain mereka juga menjadi bagian dari partai yang mengendalikan jalannya kekuasaan, kan agak aneh. Jadi prinsipnya mereka butuh kawan, butuh koalisi yang besar dalam rangka melawan rezim yang ada,” ungkap Yusak.
Bagi Yusak, melempar narasi kecurangan pemilu bukanlah suatu tindakan yang produktif sepanjang tidak menyertakan bukti yang valid.
Dia menyarankan, jika terdapat indikasi kecurangan dan pelanggaran agar dilaporkan saja kepada Bawaslu. Sebab menurutnya, mekanisme hukum sudah mengatur hal itu.
“Daripada semua poros berdebat soal adanya intervensi kekuasaan, kalaupun mereka menemukan adanya dugaan pelanggaran, mestinya kan dilaporkan ke Bawaslu. Itu kan kita sudah punya mekanisme hukum yang mengatur bagaimana penyelesaian pelanggaran pemilu,” tuturnya.
Yusak menegaskan, alangkah baiknya jika semua kubu memanfaatkan sisa waktu sebelum pelaksanaan Pemilu 2024 untuk menghadirkan berbagai program-program yang diharapkan oleh masyarakat. Daripada hanya melempar narasi kecurangan yang tidak valid.
“Artinya, lebih bagus poros yang ada ini memanfaatkan sisa waktu 3 bulan untuk bersama-sama menghadirkan berbagai program-program populisnya, karena sebetulnya itu yang ditunggu oleh masyarakat,” pungkasnya.*
Laporan M. Hafid