FORUM KEADILAN – Masyarakat sipil yang tergabung dalam dalam Solidaritas Nasional untuk Rempang telah menyelesaikan investigasi atas insiden kekerasan yang terjadi di Pulang Rempang 7 September 2023. Dalam investigasinya mereka menduga ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada peristiwa itu.
Koalisi ini terdiri dari YLBHI, LBH Pekanbaru, WALHI, WALHI RIAU, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Trend Asia.
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS Rozy Brillian Sodik mengungkapkan bahwa koalisi melakukan invesitasi secara singkat selama 3 hari, yaitu dari 11-13 September 2023.
Dalam proses investigasi, kata Rozy, mereka menemukan sejumlah kendala seperti kesulitan dalam mencari narasumber, banyaknya aparat yang melakukan sweeping, dan masyarakat yang menghapus dokumentasi kejadian kekerasan karena merasa takut.
Rozy membantah pernyataan Mabes Polri yang mengatakan tidak ada korban jiwa pada peristiwa Rempang pada 7 September 2023. Menurutnya, pernyataan tersebut keliru dan menyesatkan.
“Peristiwa 7 September menimbulkan korban dari kelompok anak, perempuan, dan lanjut usia. Berdasarkan data yang kami kumpulkan, setidaknya terdapat 20 orang luka berat dan ringan dari beragam kelompok,” ujarnya.
Koalisi juga menemukan fakta lain, yaitu pengerahan aparat secara masif dalam mengawal aktivitas pematokan tanah.
Berdasarkan temuan mereka, terdapat 60 kendaraan taktis, seperti mobil water cannnon dan pengurai massa yang diarahkan ke Rempang. Selain itu, kata Rozy, terdapat lebih dari 1010 personel yang terdiri dari Polisi, TNI, Satpol PP dan BP Batam yang dikerahkan. Menurutnya, aparat telah menduga dan bersiap akan terjadinya bentrokan.
Kata Rozy, pada peristiwa 7 September banyak beredar video aparatus negara yang bertindak eksesif dan agresif dalam memukul mundur aksi massa, salah satunya ialah penembakan gas air mata secara serampangan yang berdampak panjang pada korban.
“Ini tidak sesuai dengan proporsionalitas dan necessitas yang termuat dalam Peraturan Kapolri 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian,” tuturnya.
Prinsip nesesitas ialah penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi. Sedangkan proporsionalitas ialah penggunaan kekuatan harus dilakukan secara seimbang, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.
Atas insiden tersebut, ucap Rozy, aktivitas masyarakat ikut lumpuh. Warga yang sebagian mayoritas nelayan harus berhenti melaut karena khawatir terhadap nasib anak dan istri yang ditinggalkan akan diamankan petugas. Sedangkan yang berprofesi sebagai pedagang mengaku angka penjualan mereka turun secara drastis.
Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya menebut, peristiwa yang terjadi pada 7 September itu merupakan sebuah bentuk teror psikologis negara.
“Maksudnya ialah bentuk penyangkalan informasi, baik itu berupa pembatasan dan penutupan informasi kepada masyarakat dan juga penegasian partisipasi masyarakat,” ucapnya.
Dampak dari penutupan sumber informasi itu sendiri, kata Dimas, melahirkan satu bentuk tertutupnya proses-proses yang dapat diketahui masyarakat. Menurutnya, hal ini mengakibatkan pada ketidaktahuan dan kebingungan masyarakat dalam melakukan proses pemahaman terhadap kebijakan.
Pimpunan KontraS tersebut juga menggarisbawahi pada pembentukan posko gabungan aparat yang terletak pada 6 titik di wilayah Rempang.
“Posko tersebut merupakan sebuah bentuk simbolik dari upaya-upaya penyebaran teror dan juga intimidasi,” ucapnya.
Boy Jerry Even Direktur WALHI Riau mengungkapkan bahwa negara dalam hal ini pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menggusur masyarakat dari kampungnya atas dasar kepentingan apa pun, seperti proyek strategis nasional.
Cara pikir negara, Kata Boy, sangat kapitalistik, dengan memberi uang ganti seolah masalah teratasi. Menurutnya, tidak semua hal bisa dimonetisasi dan divaluasi secara ekonomi.
“Orang akan kehilangan identitasnya ketika dia dipindahkan ruang hidupnya dan tanah adatnya,” ucap Boy.
Selain itu berdasarkan temuan Walhi Riau, masuknya perusahaan kaca dan panel surya dari Cina memberikan ancaman terhadap kerusakan lingkungan skala besar di Pulau Rempang. Dalam pembuatannya, bahan baku utama yang digunakan ialah pasir silika dan kuarsa yang diperolah dari pertambangan wilayah pesisir.
Boy melanjutkan, potensi lainnya ialah konflik antar masyarakat. Masyarakat Rempang yang didominasi oleh pekerjaan nelayan akan kehilangan penghasilannya akibat dampak dari adanya pertambangan pasir.
“Investasi ini akan membawa dampak buruk terhadap masyarakat lokal dan lingkungan,” tuturnya.
Boy juga mengungkapkan pertemuannya dengan Abah Risman, salah satu orang yang namanya kerap disebut dan dicari aparatus negara. Abah Risman, kata Boy, mengungkapkan bahwa belum terbangunnya pabrik kaca, tapi kaki masyarakat sudah berdarah karena beling.
“Sebelum kaca (investasi) itu jadi, peristiwa tanggal 7 dan 11 September telah mengakibatkan banyak kaki berdarah karena tindakan yang dilakukan oleh negara,” tuturnya.
Koalisi yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Rempang menegaskan bahwa proyek Rempang eco-city harus dihentikan dan dicabut statusnya sebagai Proyek Strategis Nasional. Selain itu hal yang tidak kalah penting ialah pemulihan bagi para korban dan mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.*
Laporan Syahrul Baihaqi