FORUM KEADILAN – Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri mengatakan bahwa polemik penetapan tersangka prajurit TNI aktif, yakni Kepala Basarnas Henri Alfiandi dalam kasus dugaan korupsi menjadi momentum untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer.
Menurutnya Negara, dalam hal ini Eksekutif dan Legislatif sudah memiliki alasan yang cukup untuk merevisi regulasi yang sudah usang tersebut.
“Dilihat dari sisi manapun, substansinya, prakteknya, politik hukumnya, sudah banyak argumen-argumen untuk negara merevisi UU 31/1997,” ujar Gufron saat diwawancarai Forum Keadilan di Gedung Imparsial, Rabu, 2/8/2023.
Kata Gufron, ada tiga alasan utama yang menjadi basis argumentasi untuk merevisi UU Pengadilan Militer.
“Pertama, itu sudah diamanatkan di TAP MPR (Nomor 7/2000 tentang Peran TNI dan Polri) untuk merevisi UU Peradilan Militer,” imbuhnya.
Kedua, menurutnya, ialah substansi pada regulasi tersebut sudah banyak yang kadaluarsa, sehingga bertentangan dengan produk hukum pasca tahun 1998.
“Ketiga, secara praktek ini menjadi instrumen impunitas untuk para perwira,” lanjutnya.
Menurut Gufron, peradilan militer sangat tertutup dan lagi ada hal relasi kepangkatan. Ia mengamini bahwa peradilan militer selalu jadi instrumen hukum untuk melepaskan prajurit TNI yang melakukan tindak pidana untuk tidak diadili di peradilan umum.
“Secara umum praktek ini diberlakukan untuk semua (anggota) mulai dari layer paling bawah sampai kelas atas,” ucapnya.
Selain itu, Gufron mengungkapkan bahwa peradilan militer merupakan sebuah modus praktek yang banyak terjadi kepada para perwira, terutama yang bersangkutan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Ini modus praktek, di tingkat pertama divonis berat. Beberapa tahun diputus bersalah dan dihukum penjara plus pemecatan. Terus (anggota) mengajukan banding dan diterima, hukumannya diperingan,” tuturnya.
Meskipun mereka sudah menjalani hukuman, mereka yang sudah divonis bersalah masih bisa berkarier di TNI.
Sependapat, Ketua Umum PBHI Nasional Julius Ibrani pun menilai jika UU Pengadilan Militer perlu direvisi.
“Kita mau beranjak dari negara militeristik ke negara demokrasi berbasis supremasi sipil,” ucapnya saat diwawancarai Forum Keadilan, Sabtu, 29/07.
Menurut Julius, di negara demokrasi berbasis supremasi sipil, salah satu indikator pokoknya dia tidak boleh kehadiran militer ada ruang sipil sama sekali.
Sementara itu, Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya mewanti-wanti jangan sampai revisi UU Pengadilan Militer hanya dijadikan semacam isu kampanye oleh masing-masing calon presiden.
“Dalam setiap proses rezim pemerintahan, setiap 5 tahun itu selalu dijanjikan atau dijadikan seperti semacam isu kampanye oleh masing-masing rezim pemerintahan untuk kemudian mau dilakukan revisi atau amandemen,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Senin, 31/7.
Di sisi lain, Gufron menilai bahwa polemik KPK dan TNI dalam kasus korupsi Basarnas tidak terlepas dari kesalahan negara, yakni Pemerintah dan DPR. Polemik ini menjadi momentum bagi negara untuk segera merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer.
“Seandainya UU itu direvisi sejak lama, hal-hal seperti ini tidak akan terjadi. Ke depan, tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali karena instrumen hukumnya belum direvisi,” tutupnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi