Arogansi Institusional di Balik Polemik OTT Basarnas

Gedung KPK | Merinda Faradianti/ForumKeadilan
Gedung KPK | Merinda Faradianti/ForumKeadilan

FORUM KEADILAN – Pada 25 Juli 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dugaan praktik korupsi tender salah satu proyek di Basarnas.

Kemudian pada Rabu, 26/7, KPK menetapkan lima orang tersangka dalam dugaan korupsi tersebut di mana dua diantaranya berlatar belakang militer aktif, yaitu Kepala Basarnas RI, Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.

Bacaan Lainnya

Dua hari berselang atau Jumat, 28/7, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan permohonan maaf kepada TNI setelah menetapkan Henri dan Afri sebagai tersangka. Ia menyebut bahwa keputusan mentersangkakan Henri dan Afri merupakan kesalahan prosedur.

Hal itu disampaikan Tanak usai rombongan Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono didampingi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Pertama Agung Handoko beserta jajaran mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 28/7 sore.

Rombongan TNI itu tak terima dengan ditetapkannya Henri dan Afri sebagai tersangka suap, karena merupakan prajurit aktif militer.

Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani menganggap sikap KPK yang meminta maaf atas penetapan tersangka dua prajurit militer aktif kepada Puspom TNI ialah langkah keliru dan menjatuhkan marwah penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selain itu dia juga menyoroti kedatangan TNI dalam jumlah besar ke KPK dan mundurnya Direktur Penyidikan (Dirdik) Brigjen Asep Guntur dari KPK yang merupakan sebuah bentuk intimidasi terhadap lembaga antirasuah.

“Ini bukan hanya menunjukkan kuasa mereka, itu sebuah arogansi institusional yang menggambarkan bahwa TNI kita perlu reformasi,” ucapnya ketika dihubungi Forum Keadilan, Sabtu, 29/7/2023.

Di sisi lain Julius membandingkan ketika rakyat memprotes sebuah langkah atau kebijakan hukum dan harus menggugat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

“Kenapa mereka (TNI) tidak seperti itu, kenapa tidak gugat pra-peradilan, kenapa datang beramai-ramai seperti itu. Itu kan sebuah intimidasi,” tuturnya.

Menurut Julius, KPK punya rekam jejak yang buruk tapi konsisten dalam tidak mengusut pejabat aktif TNI yang diduga korupsi.

“Jadinya dia (KPK) hanya mengusut TNI yang sudah pensiun, itu pun dengan koordinasi sama Puspom TNI,” imbuhnya.

Julius menggarisbawahi bahwa dalam setiap institusi yang mengandung unsur komando terdapat istilah ‘esprit de corps‘ atau jiwa korsa. Hal ini akan membentuk sebuah budaya di mana satu sama lain akan saling membela, tidak hanya atasannya tapi juga bawahannya.

“Di dalam lembaga yang masih ada unsur komando, pasti akan menciptakan ‘esprits de corps‘. Seburuk apa pun kinerjanya, seburuk apa pun pasti akan dibela,” ucapnya.

Padahal, menurut Julius, Panglima TNI bisa saja berkoordinasi dengan mengirimkan surat dan meminta perwakilan TNI yang mendatangi KPK untuk mundur. Namun ironisnya, Panglima TNI sendiri yang memberikan komando tersebut.

Langkah KPK Sudah Tepat

Julius menyebut, OTT dan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Kepala Basarnas serta Koorsmin Kabasarnas sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pria yang biasa dipanggil Bang Ijul membantah terkait adanya kesalahan prosedur dalam penetapan tersangka pada dugaan korupsi di Basarnas.

“Pertanyaannya begini, Kepala Basarnas saat menjabat sebagai Basarnas, SK nya sipil apa militer? Dari Presiden, jadi KPK berwenang,” tuturnya.

Lembaga antirasuah bisa mengabaikan mekanisme atas dasar lex specialis derogat lex generalis, Undang-Undang (UU) yang khusus mengesampingkan UU yang umum.

UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor seharusnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari UU Pengadilan Militer.

Pada Pasal 42 UU KPK tertulis bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada “peradilan militer” dan peradilan umum.

Selain itu pada Pasal 5 UU No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tertulis bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.

Julius justru mengkritisi pernyataan Puspom TNI yang belum mengkaji penetapan tersangka karena belum memeriksa dan melihat dokumen tersebut sama sekali. Julius berasumsi bahwa perkara ini akan ‘dinolkan’ lagi.

“OTT KPK itu basisnya adalah penyelidikan, penyelidikan tersebut dasar hukumnya melalui sprinlidik (surat perintah penyelidikan),” ucapnya.

“Jika sprinlidiknya salah prosedur, artinya semua yang jadi tersangka berdasarkan sprinlidik tersebut harus dianggap bubar (batal),” lanjutnya.

Surat perintah penyelidikan didasari pada suatu peristiwa. Dugaan korupsi di Basarnas merupakan peristiwa yang dilidik oleh tim OTT KPK.

Revisi Pengadilan Militer

Kepada Forum Keadilan, Julius mengatakan urgensi revisi UU Pengadilan Militer. Menurutnya, Indonesia harus beralih dari negara militeristik ke negara demokrasi berbasis supremasi sipil. Salah satu indikator tersebut ialah minimnya kehadiran militer di ruang sipil.

“Nah kita ini setengah matang, jadinya begini. Jabatan sipil diambil, begitu korupsi dia tidak mau di sidang di pengadilan umum,” tuturnya.

Julius mengatakan letak kejanggalan dari pengadilan militer itu bukan tindak pidana yang dilihat, namun berdasarkan anggotanya (personel).

Dirinya mencontohkan dengan anggota militer yang aktif yang mengambil sandal di masjid. Tindak pidana itu tidak ada kaitan dengan tugas militer, jadi pengadilan umum yang berhak mengadili.

“Itu lah kejanggalannya, sesat itu. Tidak ada di negara-negara lain kaya gitu, cuman di Indonesia doang,” tutupnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait