DPR Bakal Panggil Kemendagri dan Pemprov Aceh-Sumut Bahas Sengketa Empat Pulau

FORUM KEADILAN – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menanggapi soal sengketa kepemilikan atas empat pulau, yakni Pulau Mangkir Besar (dikenal sebagai Pulau Mangkir Gadang), Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang yang kini tengah diperebutkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dan Pemprov Sumatera Utara (Sumut).
Hingga saat ini, Rifqi mengaku telah berkomunikasi langsung dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis guna menyelesaikan persoalan tersebut.
“Pertama, Menteri Dalam Negeri akan segera memimpin rapat dengan Tim Rupa Bumi yang bekerja pada tahun 2008-2009. Tim ini terdiri dari sepuluh kementerian dan lembaga, dengan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) sebagai ketuanya,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Jumat, 13/6/2025.
Rifqi menjelaskan, tim tersebut akan segera dipanggil kembali dalam waktu dekat untuk mengevaluasi objektivitas hasil kajian yang dilakukan pada 2008-2009 lalu. Selanjutnya, Kemendagri akan mengundang Gubernur Aceh, Gubernur Sumatera Utara, Bupati Aceh Singkil, dan Bupati Tapanuli Tengah untuk menyimak hasil penelusuran tersebut bersama DPRD masing-masing daerah.
“Apakah hasil kajian itu bisa disepakati atau perlu dievaluasi, itu yang akan kami lihat. Jika perlu evaluasi, Komisi II DPR RI akan memanggil Menteri Dalam Negeri dan para kepala daerah, bahkan jika diperlukan kami siap melakukan revisi terhadap UU Pemerintahan Aceh dan UU Sumatera Utara untuk memastikan kejelasan status keempat pulau itu,” tegasnya.
Menurutnya, kepastian wilayah atas keempat pulau tersebut sangat krusial karena berkaitan dengan perencanaan pembangunan daerah, pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta status administrasi penduduk yang tinggal di pulau-pulau itu.
“Kami akan terus melakukan fungsi pengawasan secara kuat dan efektif kepada Kemendagri sebagai mitra kerja kami, serta berkomitmen untuk ikut serta menyelesaikan persoalan ini dengan pendekatan yang solutif dan komprehensif,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menyoroti sengketa tersebut dari dua sisi utama, yaitu kebijakan dan manajemen konflik.
“Dalam Undang-Undang pembentukan daerah, seharusnya batas wilayah sudah ditetapkan secara jelas. Tapi kenyataannya, masih ada ketidakjelasan dan tumpang tindih yang menyebabkan konflik ini terus berlarut-larut,” ujar Armand kepada Forum Keadilan, Jumat,13/6.
Ia menyebut bahwa Kemendagri sebenarnya telah memutuskan status keempat pulau tersebut sejak 2017. Namun, keputusan itu belum sepenuhnya diterima oleh pihak Aceh, kemungkinan karena belum ada indikator batas wilayah yang ditetapkan secara transparan dan akuntabel.
“Komunikasi antara para pihak juga belum berjalan seimbang. Mungkin ada indikator penting seperti faktor historis yang belum dipertimbangkan secara menyeluruh,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa Kemendagri perlu menuntaskan dua persoalan utama ini dan mendorong agar ke depan ada regulasi yang jelas berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur indikator atau kriteria penetapan batas wilayah secara nasional.
“Di tengah simpang siurnya informasi, Kemendagri harus membuka secara terang benderang indikator dan kriteria yang digunakan dalam penetapan batas wilayah. Keempat pulau ini membutuhkan kepastian status agar bisa disentuh oleh pembangunan secara maksimal,” pungkasnya.*
Laporan oleh: Novia Suhari