Resmi! Pemerintah Cabut Empat Izin Usaha Tambang di Raja Ampat

FORUM KEADILAN – Pemerintah resmi mencabut empat izin usaha tambang yang ada di Raja Ampat, Papua.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan bahwa keputusan tersebut diambil Presiden RI Prabowo Subianto dalam rapat terbatas pada Senin, 9/6/2025.
“Kemarin Bapak Presiden memimpin rapat terbatas salah satunya membahas tentang izin usaha pertambangan di kabupaten Raja Ampat ini,” ujar Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 10/6/2025.
“Dan atas petunjuk Bapak Presiden, beliau memutuskan bahwa pemerintah akan mencabut izin usaha pertambangan untuk 4 perusahaan di Kabupaten Raja Ampat,” lanjutnya.
Sebelumnya diketahui, aktivitas penambangan di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, menjadi sorotan dan menuai polemik di masyarakat.
Sorotan tersebut disampaikan dari kalangan masyarakat, aktivis, ahli, hingga sejumlah anggota DPR RI.
Di sisi lain, Greenpeace Indonesia pun mendesak agar izin tambang di Raja Ampat seharusnya dicabut dan tidak cukup hanya memanggil para penambang.
Greenpeace menilai bahwa menambangan tersebut menyebabkan kerusakan alam yang masif.
Sebelumnya, Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan, Ada empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang dikeluarkan di wilayah Papua. Adapun tiga di antaranya terdapat di pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
“Sampai saat ini ada empat izin usaha pertambangan nikel yang dikeluarkan di wilayah Papua, tiga di antaranya berlokasi di pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat yakni: Pulau Gag, Pulau Kawe dan Pulau Manuran,” tulis siaran pers Walhi Papua, dikutip dari laman resminya, Kamis, 5/6/2025.
Walhi pun mengecam pemberian izin tambang tersebut dengan alasan karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Walhi menjelaskan, dalam Pasal 35 huruf K UU 27 Tahun 2007 juncto UU 1 Tahun 2014 disebutkan bahwa pertambangan pada pulau-pulau kecil (dengan luasan lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi) yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya dengan jelas dilarang untuk dilakukan.
Terlebih lagi, gugusan pulau-pulau kecil yang ada di Raja Ampat menyimpan keanekaragaman hayati yang setidaknya juga menjadi rumah bagi lebih dari 1.600 spesies ikan, 75 persen spesies karang yang dikenal dunia, 6 dari 7 jenis penyu yang terancam punah, hingga 17 spesies mamalia laut yang diketahui.
“Jika wilayah konservasi dan surga terumbu karang Raja Ampat kehilangan daya tarik utamanya yakni kelestarian pulau-pulau, terumbu karang, dan keanekaragaman hayati-nya disana, untuk kepentingan siapa sesungguhnya mempromosikan pertambangan nikel di wilayah ini?” tegas Walhi.
Dengan adanya izin pertambangan ini, menurut Walhi Papua, Pulau Kawe yang mempunya luas tidak lebih dari 50 kilometer persegi terancam menghilang dalam 15 tahun ke depan.
Di samping itu, Walhi Papua mengatakan bahwa pertambangan nikel dilakukan di wilayah pulau yang berdekatan dengan kawasan Suaka Alam Perairan Waigeo Sebelah Barat.
Selain itu, saat ini warga pun takut berenang di lautan Pulau Gag karena takut terkena penyakit kulit. Di lokasi tersebut, kata Walhi, kini sudah dibangun dermaga bongkar muat material nikel, dan ini membuat ikan-ikan di sana tidak terlihat lagi.
“Selain kerusakan dasar laut, pada saat angin kencang dari selatan mulai bulan Juni hingga September, debu material nikel beterbangan ke arah permukiman penduduk. Hujan debu menyebabkan warga dengan mudah terserang batuk,” kata mereka.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sudah sempat mengatakan bakal memanggil pemegang izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat tersebut. Ia mengaku akan melakukan evaluasi terhadap pemberian izin ini.
“Saya akan evaluasi, akan ada rapat dengan dirjen saya. Saya akan panggil pemiliknya, mau BUMN atau swasta,” ungkap Bahlil setelah menghadiri Human Capital Summit di Jakarta, Selasa, 3/6.
Menteri yang berasal dari Tanah Cenderawasih itu menyebut, ada aspirasi masyarakat Papua yang menginginkan pembangunan smelter di sana. Ia menilai, kompleksitas pertambangan di Papua membutuhkan perlakuan khusus. Hal ini lantaran Papua adalah daerah otonomi.
“Kami harus menghargai, karena Papua itu kan ada otonomi khusus, jadi perlakuannya juga khusus. Nanti, saya pulang akan evaluasi,” ujar Bahlil.
Sebelumnya diketahui, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu pada Senin, 19/5 lalu, di Sorong mengungkap adanya dua perusahaan pengelola tambang nikel di Raja Ampat. Dua perusahaan tersebut adalah PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Dua perusahaan yang bergerak di tambang nikel ini sudah memperoleh izin berusaha sejak daerah itu masih menjadi satu dengan Provinsi Papua Barat.
Selain dua tambang nikel yang telah berizin itu, terdapat pula beberapa perusahaan yang mempunyai izin usaha pertambangan (IUP) sebelum ada Papua Barat Daya beroperasi di Raja Ampat.*