Pendidikan Dasar Gratis, Putusan MK Tidak Berlaku untuk Sekolah Swasta Elit

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pembebasan biaya pendidikan dasar di sekolah swasta tidak berlaku pada sekolah atau madrasah swasta elit yang menerapkan kurikulum internasional atau kurikulum keagamaan khusus sebagai nilai jual.
Adapun dalam putusan Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon. Mahkamah memerintahkan kepada pemerintah untuk menyediakan pendidikan dasar gratis di sekolah dasar negeri maupun wwasta selama sembilan tahun.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebut bahwa sekolah/madrasah swasta di Indonesia tidak bisa disamaratakan karena kondisi pembiayaannya berbeda-beda. Dengan begitu, sekolah swasta tersebut masih bisa melakukan pungutan biaya kepada peserta didik.
“Selain itu, sejumlah sekolah/madrasah swasta juga menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti kurikulum internasional atau keagamaan yang merupakan kekhasan atau dijadikan ‘nilai jual’ (selling point) keunggulan sekolah dimaksud,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih di Gedung MK, Selasa, 27/5/2025.
Sekolah-sekolah elit, yang selama ini menarik biaya tinggi dan memiliki kekhasan tertentu dalam kurikulum, dipilih secara sadar oleh peserta didik dan orang tua mereka dengan mempertimbangkan keunggulan dan fasilitas yang ditawarkan.
“Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tertentu,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Mahkamah menekankan bahwa negara harus mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar, termasuk pada sekolah/madrasah swasta dengan mempertimbangkan faktor ‘kebutuhan’ dari sekolah/madrasah swasta tersebut.
Hal ini, kata Enny, untuk memastikan efektivitas bantuan pendidikan dari pemerintah bagi peserta didik yang bersekolah di negeri atau swasta.
“Mahkamah berpendapat bahwa sepanjang berkenaan dengan bantuan pendidikan untuk kepentingan peserta didik yang bersekolah di sekolah/madrasah swasta, maka tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah/madrasah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan,” kata Enny.
Hal ini dilakukan untuk memastikan tidak ada warga negara yang tertinggal dalam pemenuhan hak atas pendidikan dasar.
Bantuan pemerintah, menurut Mahkamah, tetap dapat diberikan kepada sekolah swasta dengan syarat mereka memenuhi standar tata kelola dan akuntabilitas sesuai peraturan perundang-undangan.
Namun, sekolah swasta yang tidak pernah menerima bantuan negara dan menyelenggarakan pendidikan secara mandiri dari biaya peserta didik, tidak bisa dipaksakan untuk menggratiskan layanan pendidikannya.
“Tidak tepat dan tidak rasional jika sekolah swasta seperti ini dilarang memungut biaya sama sekali, sementara kemampuan fiskal negara pun terbatas,” tambah Enny.
Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama dengan tiga Pemohon perorangan, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Mereka meminta agar pendidikan dasar sembilan tahun (SD-SMP) digratiskan, tidak hanya pada sekolah negeri, namun juga sekolah swasta.
Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal tersebut menyatakan, ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat 2) UU Sisdiknas sepanjang frasa ‘wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya’.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi