Klarifikasi Rismon di Polda Metro Jaya: Diperiksa 97 Pertanyaan terkait Penelitiannya soal Dokumen Akademik Jokowi

FORUM KEADILAN – Ahli Digital Forensik Rismon Hasiholan Sianipar menjalani pemeriksaan klarifikasi di Polda Metro Jaya pada Senin, 26/5/2025 menyusul laporan yang diajukan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) terkait dugaan ijazah palsu pada Rabu, 30/4 lalu.
Pemeriksaan ini berlangsung sejak pagi hingga sore hari dan menghasilkan total 97 pertanyaan dari penyidik kepada Rismon. Sebagian besar berkaitan dengan aktivitas ilmiahnya dan unggahan di media sosial.
“97 totalnya ya, pertanyaannya banyak sekali,” kata Rismon kepada media di Polda Metro Jaya, Senin, 26/5.
Rismon menjelaskan bahwa ia mengkaji dokumen tersebut berdasarkan data yang tersedia publik, termasuk ijazah yang diunggah oleh akun atas nama Dian Sandi serta dokumen dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Untuk diketahui, kajian itu disampaikan melalui berbagai platform, seperti akun X miliknya @sianiparrismon, kanal YouTube Bali G Akademi, dan diskusi bersama Roy Suryo di Diskursus Network.
“Di mana saya mengkaji, menganalisa lembar pengesahan dan skripsi Pak Jokowi Dodo, terkait dengan algoritma yang saya gunakan, metode-metode. Jadi saya terangkan sedikit yang dibutuhkan,” jelasnya.
Rismon menegaskan, bahwa dirinya datang sebagai warga negara yang kooperatif dan statusnya dalam kasus ini masih sebagai pihak yang diundang klarifikasi, bukan sebagai terlapor.
“Saya hadir sebagai pihak yang diundang untuk klarifikasi, belum sebagai terlapor. Saya ditanya banyak hal, terutama terkait metode ilmiah yang saya gunakan dalam mengkaji dokumen akademik Presiden Jokowi, seperti lembar pengesahan skripsi dan ijazah. Namun, ada beberapa pertanyaan yang tidak saya jawab karena bersifat teknis dan menyangkut cara kerja ilmiah yang saya lakukan,” ungkap Rismon.
Selain itu, Kuasa Hukum Rismon, Ahmad Fauzinudin menambahkan bahwa sebagian besar pertanyaan yang diajukan tidak relevan dengan tujuan undangan klarifikasi. Ia juga menyoroti penggunaan berbagai pasal pidana dalam penyelidikan ini yang menurutnya tidak proporsional.
“Dalam undangan klarifikasi hanya disebutkan dugaan pelanggaran Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27, 32, dan 35 UU ITE. Ini sangat luas cakupannya, dan bahkan melampaui pasal-pasal yang dikenakan kepada pelaku korupsi. Klien kami hanyalah seorang peneliti yang menggunakan metode ilmiah untuk mengkaji sesuatu yang menjadi perhatian publik,” tegas Fauzinudin.
Ia mengatakan, berdasarkan KUHAP, seseorang hanya diwajibkan menjawab hal-hal yang dialami, didengar, dan dilihat secara langsung. Oleh karena itu, ketika pertanyaan mengarah pada hal-hal di luar pengetahuan langsung kliennya, pihaknya memilih untuk tidak menjawab demi menjaga integritas proses hukum.
“Kalau memaksakan menjawab hal yang tidak dialami, itu namanya dusta. Maka kami memilih untuk tidak menjawab beberapa pertanyaan. Dan itu hak hukum klien kami,” tambahnya.
Selaras dengan hal itu, kuasa hukum lainnya, Jemi Mokuolensang, juga menyatakan bahwa proses klarifikasi kali ini justru dipenuhi dengan kejanggalan. Dari 97 pertanyaan yang diajukan, banyak di antaranya yang menurut tim hukum tidak relevan dengan substansi undangan klarifikasi.
“Seharusnya fokus pada hal-hal yang sesuai konteks undangan. Tapi ini malah banyak pertanyaan di luar substansi, termasuk peristiwa yang tidak berkaitan langsung dengan klien kami, seperti video tanggal 26 atau 28 April yang jelas tidak dibuat oleh Rismon,” katanya.
Bahkan, Jahmada Irsang, anggota tim kuasa hukum lainnya, menilai bahwa kliennya telah dikepung oleh sejumlah pasal yang seharusnya tidak digunakan dalam kasus ini.
“Awalnya kami mendengar pelaporan menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP. Tapi saat klarifikasi berkembang ke Pasal 27A, 32, 35 UU ITE. Juncto semua. Ini semacam upaya untuk memperluas sangkaan tanpa alasan yang kuat,” kata Jahmada.
Menurutnya, hingga kini belum ada kejelasan mengenai siapa sebenarnya yang menjadi terlapor. Nama Rismon pun belum disebut secara eksplisit, hanya muncul inisial RS.
“Tapi kita belum tahu, RS itu siapa. Jadi belum ada kepastian hukum mengenai siapa yang dilaporkan,” ucapnya.
Terkait proses hukum perdata yang saat ini berjalan, Fauzinudin menilai semestinya penyidik menghormati jalur hukum yang sudah ditempuh melalui pengadilan perdata.
“Hari ini, dua gugatan perdata terkait ijazah Pak Jokowi sedang berjalan di PN Surakarta dan PN Sleman. Seharusnya, menurut Perma No. 1 Tahun 1956, jika ada perkara perdata yang sedang berlangsung dan ada dugaan tindak pidana yang berkaitan, maka penyelidikan pidana sebaiknya ditunda dulu sampai ada putusan tetap dari pengadilan perdata,” jelasnya.
Kemudian, Rismon juga menegaskan bahwa dirinya akan tetap menghormati proses hukum apabila nantinya statusnya berubah menjadi terlapor.
“Tentu saya akan hadir jika dipanggil sebagai terlapor. Saya adalah peneliti independen, tidak subjektif, dan saya menggunakan keilmuan saya untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Penelitian saya dilakukan secara ilmiah, tidak ada unsur pidana di dalamnya,” tegasnya.
Namun, tim kuasa hukum berharap proses ini tidak berlanjut ke tahap pidana karena tidak ditemukan unsur pelanggaran hukum.
“Kami menilai bahwa proses klarifikasi ini sudah cukup. Tidak perlu ada pemanggilan lanjutan. Klien kami sudah memberikan penjelasan yang komprehensif dan ini adalah bentuk partisipasi ilmiah, bukan tindak pidana,” pungkas Fauzinudin.*
Laporan oleh: Ari Kurniansyah