Sabtu, 14 Juni 2025
Menu

Kecam Grup Fantasi Sedarah, Komnas Perempuan: Normalisasi Inses dan Kekerasan Seksual Sangat Mengkhawatirkan

Redaksi
Grup di media sosial Facebook bernama Fantasi Sedarah | Ist
Grup di media sosial Facebook bernama Fantasi Sedarah | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Komisioner Komnas Perempuan, Sundari Amir, mengecam keras keberadaan grup Facebook  ‘Fantasi Sedarah‘ yang baru-baru ini viral di media sosial karena menormalisasikan tindakan inses serta pedofilia.

“Komnas Perempuan prihatin dan mengecam keras keberadaan grup tersebut. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga bentuk ancaman nyata terhadap keamanan anak-anak, terutama anak perempuan, di ruang digital,” katanya kepada FORUM KEADILAN, Kamis, 22/5/2025.

Menurut Komnas Perempuan, inses merupakan bentuk kekerasan seksual paling meresahkan karena kerap terjadi secara masif namun tersembunyi dalam lingkungan keluarga. Budaya tutup aib, ketergantungan korban terhadap pelaku, serta tekanan sosial menjadi penghalang utama bagi korban untuk melapor.

Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan inses mendominasi kekerasan seksual di ranah personal. Pada 2019 tercatat 1.071 kasus inses, turun menjadi 822 pada 2020. Namun, pada 2021 hanya tercatat 15 kasus, diduga akibat keterbatasan pelaporan selama pandemi. Angka tersebut kembali meningkat pada 2022 dengan 433 kasus.

Sundari menegaskan bahwa data ini kemungkinan besar belum mencerminkan kasus yang sebenarnya karena masih banyak korban enggan melapor. Komnas Perempuan juga mendorong agar penindakan tidak hanya berhenti pada admin, tetapi juga menjangkau anggota grup yang menyebarkan materi kekerasan seksual.

“Semua materi kekerasan seksual yang telah tersebar di grup tersebut harus segera dihapus. Korban yang gambarnya telah disebar juga harus mendapat perlindungan maksimal,” ujarnya.

Komnas Perempuan juga menyoroti fakta bahwa banyak pelaku kekerasan seksual berasal dari lingkungan keluarga sendiri, seperti ayah kandung, paman, atau saudara laki-laki. Mereka memanfaatkan relasi kuasa dalam keluarga untuk membungkam korban melalui ancaman atau manipulasi emosional.

“Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru menjadi tempat terjadinya kekerasan yang sistematis dan berulang,” ucapnya.

Dampak kekerasan seksual dalam keluarga sangat besar, mulai dari trauma psikologis, gangguan perkembangan emosional, hingga putus sekolah. Tak sedikit korban mengalami kehamilan atau infeksi menular, sementara pelaku tetap bebas karena dilindungi oleh budaya patriarkis dan stigma sosial.

Ia juga mengecam kebiasaan menutup-nutupi kekerasan demi menjaga nama baik keluarga, yang justru memperpanjang penderitaan korban.

Komnas Perempuan terus mendorong penegakan hukum yang tegas bagi pelaku, serta pemulihan menyeluruh bagi korban melalui layanan psikologis, bantuan hukum, dan perlindungan sebagaimana dijamin dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Pencegahan hanya bisa efektif jika semua pihak – keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara – bekerja bersama menciptakan lingkungan yang aman dan bebas kekerasan. Keluarga seharusnya menjadi tempat pertama yang menanamkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan saling menghormati,” tutup Sundari.*

Laporan Novia Suhari