Kamis, 12 Juni 2025
Menu

Grup Fantasi Sedarah Bukti Pemerintah Gagal Lindungi Anak Bangsa

Redaksi
Grup di media sosial Facebook bernama Fantasi Sedarah | Ist
Grup di media sosial Facebook bernama Fantasi Sedarah | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Aktivis perempuan dan pendamping korban kekerasan seksual Poppy Dihardjo angkat suara terkait viralnya grup di media sosial Facebook bernama Fantasi Sedarah. Menurutnya, grup tersebut menjadi ruang bagi para predator seksual yang menyamarkan aksi mereka dalam narasi ‘hanya sekadar fantasi’.

“Kalau lihat sebagai orang tua, saya bahkan enggan tahu lebih dalam. Ini tidak masuk akal. Mereka menyebutnya fantasi, padahal ini bentuk kekerasan seksual yang dibungkus dengan narasi sesat,” katanya kepada Forum Keadilan, Minggu,18/5/2025.

Ia mengatakan berfantasi adalah hal personal. Namun ketika fantasi tersebut menjadi tempat saling memvalidasi antara pelaku kekerasan seksual, terutama terhadap anak dan balita itu adalah bentuk kejahatan serius.

Mirisnya fakta bahwa grup ini bisa bertahan lama di Facebook tanpa tersentuh pengawasan. Ia mempertanyakan fungsi pengawasan platform digital dan aparat negara.

Poppy menyebut negara telah lalai, bahkan membiarkan kejahatan digital ini tumbuh. Ia menyoroti bagaimana pemerintah lebih fokus pada pemblokiran situs judi dan pornografi tanpa menindak tegas pelaku penyebaran dan pemilik kontennya, tetapi justru pihak yang berada di dalam videonya.

“Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi pembiaran. Padahal ada regulasi seperti PP Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak,” tegasnya.

Ia pun mendesak Komdigi, aparat siber, dan pihak Facebook untuk segera menutup grup tersebut, mengusut admin, serta anggota yang menyebarkan informasi berbahaya terutama yang melibatkan anak-anak.

Selain itu, sebagai praktisi hukum, Poppy juga menyoroti maraknya penggunaan foto anak-anak dari media sosial oleh pihak tak bertanggung jawab untuk dijadikan objek fantasi seksual.

“Bisa jadi mereka cuma comot foto anak orang lain yang diunggah di media sosial. Kita harus sadar bahwa posting foto anak pun bisa jadi celah bahaya,” ujarnya.

Berdasarkan pengalaman mendampingi korban, Poppy mengungkapkan bahwa tren kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Bahkan, perbedaan antara korban anak dan dewasa sangat tipis, sekitar 46 persen adalah anak-anak. Dan korban KBGO (kekerasan berbasis gender online) dari kalangan anak lebih takut kepada orang tuanya ketimbang pelaku.

Ia pun menilai grup-grup seperti ini bukan sekadar ruang diskusi, melainkan tempat latihan bagi para predator.

“Mulainya dari pembiasaan di ruang privat, menonton, mengobrol, sentuh-sentuh, hingga akhirnya jadi tindakan nyata,” tukas Poppy.

Ia juga mempertanyakan keseriusan negara dalam menangani kejahatan seksual daring.

“Masalahnya bukan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak. Negara harus hadir, karena ini bukan sekadar satu grup, tapi cerminan gagalnya negara memberikan rasa aman bagi anak-anak, baik di dunia nyata maupun digital,” tutupnya.*

Laporan Novia Suhari