Selasa, 15 Juli 2025
Menu

Di Balik Jeratan Obstruction of Justice: Benarkah Narasi Negatif Bisa Dipidana?

Redaksi
Ilustrasi Hukum | Ist
Ilustrasi Hukum | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Sejumlah pengamat hukum menilai bahwa penetapan tiga tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) pada perkara komoditas timah, importasi gula dan juga suap vonis lepas crude palm oil (CPO) keliru dan berpotensi mengancam demokrasi. Namun, ada pandangan bahwa perintangan penyidikan dapat dikenakan apabila berdampak langsung terhadap jalannya penegakan hukum.

Tiga tersangka yang terdiri dari advokat, akademisi, dan jurnalis menjadi tersangka usai dianggap telah melakukan permufakatan jahat dengan cara memproduksi dan menyebarkan narasi negatif yang menyudutkan Kejaksaan pada sejumlah perkara.

Ketiga tersangka tersebut ialah Marcella Santoso selaku advokat yang sebelumnya sudah menjadi tersangka di kasus suap penanganan perkara vonis lepas (ontslag) di kasus CPO alias minyak goreng. Selain itu adapula akademisi Universitas Indonesia (UI) Junaedi Saibih dan Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar.

Mereka dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait perintangan penyidikan alias obstruction of justice.

Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Ari Wibowo menilai bahwa langkah Kejagung dalam menjerat ketiga tersangka pada kasus tersebut dianggap keliru. Ia menyebut bahwa Pasal 21 UU Tipikor semestinya mengacu pada ketentuan dalam Pasal 221 UU KUHP terkait perintangan penyidikan atau obstruction of justice.

Adapun Pasal 221 UU KUHP memuat ketentuan soal unsur perintangan penyidikan yang dilakukan dengan sengaja seperti, menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan, memberi pertolongan kepada orang yang melakukan kejahatan untuk menghindari penyidikan atau penahanan, menutupi kejahatan, menghalangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutan, atau menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda yang terkait dengan kejahatan.

“Kalau bentuk perbuatannya berupa diskusi atau memberitakan kasus tertentu, maka jelas bukan merupakan bagian dari obstruction of justice,” kata Ari saat dihubungi Forum Keadilan, Rabu, 23/4/2025.

Untuk diketahui, Marcella dan Junaedi memerintahkan Tian Bahtiar untuk memproduksi konten dan narasi negatif untuk menyudutkan penyidik Kejagung dengan imbalan biaya sebesar Rp478 juta.

Kejagung menemukan bukti invoice dari penggeledahan di beberapa tempat dalam pengembangan kasus suap vonis lepas perkara ekspor minyak goreng (CPO).

Bukti pertama yaitu berupa invoice dengan tagihan pembayaran sebesar Rp153 juta untuk pembayaran 14 berita dengan topik alasan tindak lanjut kasus impor gula, 18 berita dengan topik tanggapan Jamin Ginting, 10 berita dengan topik tanggapan Ronald Lobloby, serta 15 berita topik tanggapan Dian Puji dan Romli pada periode 14 Maret 2025.

Sedangkan invoice kedua ditemukan sebuah tagihan sebanyak Rp20 juta untuk pembayaran atas pemberitaan di sembilan media mainstream dan umum, media monitoring, dan konten TikTok Jakarta untuk periode 4 Juni 2024.

Kejagung juga menemukan dokumen campaign melalui podcast dan media streaming, serta rekapitulasi berita negatif tentang Kejaksaan. Selain itu, Kejaksaan juga mendapatkan dokumen kebutuhan social movement, lembaga survei, seminar nasional, bangun narasi publik, key opinion leader terkait perkara timah dan importasi gula dengan biaya sebesar Rp2,4 miliar.

“Soal adanya pemberian uang kepada jurnalis terkait dengan pemberitaan, itu bukan ranah pidana tetapi kode etik profesi. Demikian juga dengan advokat yang terlibat, juga ranahnya pada kode etik profesi, bukan pidana,” tegas Ari.

Menurutnya, ketentuan Pasal 21 UU Tipikor baru dapat dikenakan ketika sebuah penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan telah terintangi atau gagal.

Namun faktanya, kata dia, proses hukum kasus korupsi importasi gula yang menjerat Tom Lembong dan komoditas timah masih tetap berjalan tanpa hambatan.

“Jadi dalam hal ini Kejaksaan ngawur, jelas keliru dalam penerapan Pasal 21 UU Tipikor. Siapa pun boleh memiliki pandangan berbeda dari aparat penegak hukum dan bebas mengemukannya,” kata Ari.

Narasi Negatif Tak Bisa Dipidana

Ari mengatakan, hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaiamana dijamin oleh konstitusi. Ia kembali menekankan bahwa hak berpendapat dan berekspresi merupakan bagian dari HAM yang sangat esensial di negara demokrasi.

Oleh karena itu, dosen FH UII tersebut menilai bahwa tindakan Korps Adhyaksa telah mengancam demokrasi di Indonesia.

“Sehingga tindakan kejaksaan dalam kasus ini mengancam demokrasi. Kalau dulu ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi berasal dari pemerintah, dengan kasus ini sekarang ancamannya juga dari aparat penegak hukum,” katanya.

Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menilai bahwa penerapan Pasal Perintangan Penyidikan dalam kasus tersebut disikapi dengan penuh kehati-hatian.

Menurut Zaenur, Pasal 21 UU Tipikor memang mengatur soal perbuatan menghalangi, merintangi, atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan, maupun persidangan dalam perkara korupsi, namun perbuatan tersebut harus dilakukan dengan kesengajaan.

Ia justru mempertanyakan apakah pemberitaan dan narasi negatif yang menyudutkan Kejagung dapat menyebabkan pada tercegahnya upaya penyidikan menjadi tidak tuntas.

“Apakah dengan opini yang negatif itu kemudian proses penegakan hukum di tahap penyidikan misalnya itu kemudian menjadi dirintangi, menjadi gagal?” ujar Zaenur saat dihubungi Forum Keadilan, Rabu, 23/4.

Ia menilai, meskipun ada dugaan penggunaan uang untuk membayar media agar memuat pemberitaan sesuai keinginan tersangka, hal itu belum tentu memenuhi unsur obstruction of justice. Zaenur menjelaskan, obstruction of justice baru bisa terjadi apabila upaya tersebut secara langsung menyebabkan terganggunya atau gagalnya proses penyidikan.

Ia mencontohkan, ketika pemberitaan negatif terhadap saksi memberatkan, menyebabkan saksi tersebut enggan bersaksi atau tidak kooperatif, sehingga menghambat proses hukum.

“Kemudian penyidik mengalami hambatan karena saksinya misalnya dibunuh karakternya oleh media dengan sedemikian rupa hasil bayaran oleh tersangka. Nah, itu menurut saya, mungkin, itu bisa masuk pada obstraction of justice,” katanya.

Namun, kata dia, apabila media dibeli hanya untuk membentuk opini negatif terhadap aparat penegak hukum tanpa berdampak langsung pada penyidikan yang tengah berlangsung, maka Pasal 21 UU Tipikor soal perintangan penyidikan tidak tepat digunakan.

Zaenur menekankan bahwa media yang terbukti menerima pembayaran untuk membuat pemberitaan tertentu tetap harus ditindak. Namun, menurutnya, pendekatan yang lebih tepat adalah melalui dua jalur lain, yakni mekanisme penegakan kode etik jurnalistik melalui Dewan Pers.

Perbedaan Pandangan

Di sisi lain, Zaenur menilai bahwa ketiga tersangka bisa dijerat dengan UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Adapun Pasal 2 dan 3 dalam UU tersebut memuat ketentuan soal pemberian dan penerimaan suap terkait tugas yang menyangkut kepentingan umum.

“Media masa itu kan menyangkut kepentingan umum, sehingga menurut saya seharusnya ini bisa didekati dengan pasal dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 itu tadi tentang Tindak Pidana suap,” katanya.

Zaenur mengungkap, Kejagung lebih tepat menggunakan pasal tersebut, terutama untuk menjerat seorang pejabat di media massa swasta yang mana ia menerima pembayaran untuk pribadinya yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Ia mengingatkan bahwa jika pasal obstruction of justice digunakan secara serampangan, maka hal itu bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat, termasuk kritik murni terhadap aparat penegak hukum yang dilontarkan oleh akademisi maupun masyarakat sipil.

“Menurut saya berisiko kalau Pasal 21 itu tidak digunakan dengan ketat sehingga menurut saya ini harusnya kasus ini dilihat dengan lebih bijaksana juga menggunakan cara-cara yang lebih tepat,” katanya.

Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra berpandangan lain. Ia menilai penerapan Pasal Perintangan Penyidikan dapat dikenakan apabila ditemukan keterkaitan antara pelaku, niat yang disengaja, dan dampak langsung terhadap jalannya penegakan hukum.

“Perbuatan makna Pasal 21 UU Tipikor dimaksud dapat dikatakan terjadi sepanjang adanya kausalitas dan di antara para pelaku terjalin kepentingan untuk saling melindungi dan menjadikan sebagai sarana serangan balik bagi Kejaksaan Agung,” ujar Azmi saat dihubungi Forum Keadilan, Rabu, 23/4.

Menurutnya, obstruction of justice tidak hanya terjadi pada tahap penyidikan, namun bisa sejak penyelidikan hingga persidangan.

Dalam konteks ini, kata dia, jika sebuah konten atau produk jurnalistik secara nyata dibuat dan disebarluaskan dengan niat serta dampak yang menghambat atau mempersulit proses hukum, maka unsur pidana bisa terpenuhi.

Namun, kata Azmi, apabila dalam pemberitaan ditemukan adanya konflik kepentingan, misalnya berita dipesan untuk melemahkan proses hukum, lalu terbukti para pelaku sadar dan berkehendak untuk itu, maka hal tersebut dapat menjadi bagian dari permufakatan jahat.

Azmi menyebut, kondisi semacam ini bisa dikenali dari adanya ‘meeting of mind’, atau kesamaan kehendak antar pihak, yang secara sadar menggunakan media dan opini untuk mengganggu atau melemahkan kerja penyidik.

Meski begitu, ia juga mengingatkan agar jurnalis tetap menjalankan perannya tanpa rasa khawatir selama menjaga integritas dan bekerja sesuai kode etik jurnalistik.

“Jurnalis sebagai fungsi kontrol sosial tidak perlu khawatir dengan produk pemberitaan termasuk menyampaikan kebenaran informasi sepanjang menjaga keseimbangan antara kewajiban dan hak jurnalis dalam menjaga integritas dan kemerdekaan pers dalam masyarakat,” tegasnya.

Kejagung Tak Anti-Kritik

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Harli Siregar menegaskan bahwa Korps Adhyaksa tidak pernah bersikap anti terhadap kritik ataupun produk jurnalistik.

Hal ini merespons soal kekhawatiran publik atas penetapan tersangka terhadap seorang jurnalis dan akademisi dalam kasus perintangan penyidikan pada sejumlah perkara.

“Silakan rekan-rekan jurnalis terus berkarya dan melakukan kritik. Itu bagian dari kerja jurnalistik. Kami tidak pernah anti kritik,” kata Harli kepada wartawan di Gedung Kejagung, Rabu, 23/4.

Namun, Harli menekankan bahwa dalam kasus yang tengah ditangani penyidik, penetapan tersangka tidak semata-mata karena pemberitaan yang bersifat negatif atau kritis. Melainkan, kata dia, berdasarkan adanya indikasi permufakatan jahat yang melibatkan penggunaan media sebagai alat untuk mempengaruhi opini publik dan mengganggu kerja aparat penegak hukum.

“Yang kita sidik adalah niat pelaku, permufakatan jahat yang dilakukan bersama pihak-pihak tertentu. Media digunakan sebagai alat untuk menciptakan opini publik yang mengintervensi penegakan hukum,” ujarnya.

Harli juga membedakan antara produk jurnalistik yang mengkritisi dengan upaya sistematis yang diduga sengaja diarahkan untuk mengaburkan proses hukum.

“Pemberitaan yang baik, tidak baik, yang kritis atau tidak, itu ranah produk jurnalistik. Tapi jika ada niat jahat, maka itu wilayah pidana,” tegasnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi